Chapter 47 ☀︎ Rahasia yang dia sembunyikan

66 10 0
                                    

SETELAH menerima pesan dari Aron untuk menunggu di pos satpam, aku bergegas menuju tempat tersebut. Aron bilang dia tidak akan lama.

Mataku menjelajah sekitar, dan menemukan sosok Aron yang berjalan mendekat.

"Hai," sapa Aron padaku.

Aku membalasnya dengan senyuman lantas berkata kembali, "hai juga."

"Yuk," ajak Aron tanpa aku ketahui hendak kemana.

"Tempatnya di mana?" tanyaku penasaran sambil terus berjalan mengikuti langkah Aron.

Kami berdua berjalan berdampingan di atas trotoar.

"Nyeberang aja, La," ajak Aron lantas menggenggam tanganku.

Oke. Jantungku tak karuan.

"Bang, bakso dua porsi ya. Ga pedes, ga pake kecap." Aron bergegas memesan bakso sebelum kami berdua duduk. Cuaca siang menjelang sore ini cukup panas tanpa ada angin yang menemani.

"Jadi kenapa ajak aku ke sini?" tanyaku penasaran begitu Aron duduk di kursi plastik sebelahku.

"Random talk aja si," jawabnya sambil menatapku.

"Oh," aku kembali melayangkan pandang pada jalanan di depan. Beberapa mobil dan motor berlalu lalang, namun tidak mengangguku.

"Setelah kita ga kontak waktu SMA, aku ke psikolog," jelas Aron dadakan.

Aku memindahkan arah pandangku pada aron, raut wajahku menunjukkan kebingungan, "ha?"

"Ya karena aku sadar, ada yang ga beres sama aku sendiri."

"Ooo, ini alasan kamu jadi berubah banget? Cepet tau."

Aron menggeleng dengan senyuman kecut. "Ga cepet, La. Dua tahun," ujarnya memberi tahuku.

"Terus, alasan kamu berubah nyebelin sepulang dari Swiss?" tanyaku lagi, sepertinya aku masih belum mendapatkan informasi yang aku mau.

"Ya, di Swiss semua orang terbiasa bekerja secara individu, La. Jarang ada yang berinteraksi sampe heboh kayak di Indonesia. Awalnya aku mau berteman, tapi waktu lihat lingkungan kayak gitu, aku mundur."

"Terus? Gimana lanjutannya?" aku tidak bisa berbohong, aku sangat penasaran dengan kelanjutan cerita Aron.

"Ya, parahnya aku malah ikutin gaya hidup mereka," setelahnya Aron membuang nafas berat.

"Jadi ini kamu yang asli?" tanyaku seraya menatap Aron lembut.

"Bisa dibilang gitu, haha," dia menggaruk kulit kepalanya dengan kaku.

"Tapi normal kok, itu 'kan, namanya adaptasi."

"Iyaa, makanya setelah mama suruh aku buat ke psikolog, hidup aku lebih ringan, La."

"Oh," ujarku singkat karena begitu bingung harus melanjutkan apa.

"Kalau kamu? Suka aku yang kayak gimana?" dia menatapku lembut, alisnya terangkat satu menunggu jawabanku.

"Ya sekarang lah. Aku berasa sama Aron sebelum pergi ke Swiss lagi," jawabku sejujur-jujurnya.

"Lavender." Aron menjeda sejenak kalimatnya, "Kamu bakal tetep jadi temen aku?"

Aku refleks tertawa. Aku kira dia mau menanyakan sesuatu yang serius atau semacamnya. "Iyaaa! Kita tetep temenan, Ron. Sama kayak dulu, karena pada dasarnya aku ga pernah mengusir kamu dari daftar temen aku."

"Kalau perasaan?" tanya Aron memiringkan kepalanya.

"Ya elah, baru juga ketemu lagi, udah nanya gitu." Aku membuang muka, menatap jalan raya yang tidak terlalu ramai.

Lavender's diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang