[23]

1.8K 270 50
                                    


____

Banyak beban yang harus dipikul seorang manusia, pundak, kepala, hati, semuanya memiliki tanggungan masing-masing. Semakin dewasa beban itu semakin memberat dan itu adalah hal yang lumrah untuk semua manusia. Tidak ada orang yang benar-benar bahagia, semua memiliki kapasitasnya masing-masing.

Di hari yang mendung, Hinata mulai kembali beraktivitas dengan normal. Kemarin dia sibuk membenahi perasaannya yang berantakan. Hidup sebatang kara di dunia membuatnya menuntut diri sendiri agar tahan banting. Cukup jalan kehidupannya yang berantakan, setidaknya setelah semua ini terlewati dia ingin hidup tenang, meskipun tidak memiliki apa-apa.

Hinata kembali bekerja seperti biasa, berangkat ke kedai pastry dan memulai harinya untuk mencari nafkah. Tidak ada yang benar-benar mengetahui kehidupan pribadinya di tempat kerja dan hal itu sangat menguntungkan, Hinata tidak perlu merasa risih.

Rencananya Hinata akan bekerja di tempat itu hingga dia mendapatkan setidaknya biaya untuk hidup sebulan ke depan. Setelah itu dia ingin pindah ke tempat yang sedikit jauh.

Hal itu mungkin terbayang sedikit mudah dalam benak Hinata. Namun, kenyataannya dia bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi. Seperti sekarang, dia sama sekali tidak menyangka, Mebuki Haruno datang ke tempatnya bekerja sebagai pelanggan.

Hinata tidak akan munafik, tubuhnya bergetar ketakutan saat melihat Mebuki di  salah satu etalase toko. Kedua tangannya meremas keras nampan berisi croissant yang tengah ia bawa. Dia kembali mengingat banyak hal yang sudah dilakukan di masa lalu, membuat keringat dingin mulai bermunculan.

Sebenarnya Hinata ingin berbalik dan bersembunyi di dapur daripada harus beradu pandang dengan Mebuki. Namun, dia sendiri sadar bahwa jika dia terus berlari dia tidak akan pernah merasa tenang. Jadi, gadis itu memutuskan untuk terus melangkah.

Sempat beradu pandang, Hinata dengan tenang melanjutkan pekerjaannya. Dengan perasaan takut yang mulai kembali muncul, Hinata mulai menundukkan pandangan. Saat ketukan sepatu semakin mendekat, telapak tangannya mulai berkeringat.

“Bisakah kita bicara sebentar?”

Hinata benar-benar tidak memiliki keberanian lebih untuk menatap mata Mebuki sedekat ini. Dia hanya mengangguk dengan pandangan yang sepenuhnya tertuju pada meja kasir di depannya.

“Aku akan menunggumu di kafetaria sebrang jalan.”

Wanita paruh baya itu berbalik menuju tempat yang dia sebutkan tadi. Saat sosoknya hilang di telan pintu keluar, Hinata menarik napas dalam-dalam. Dia harus menyiapkan mentalnya. Kemarahan yang sebenarnya adalah ketenangan yang mencekam. Mebuki yang biasanya begitu frontal menjadi sangat hening, itu membuat Hinata lebih banyak berpikir negatif tentang apa yang akan mereka bahas.

Setelah beberapa saat mempersiapkan keteguhan hati dan mentalnya. Hinata meminta izin kepada teman satu shift untuk menggantikannya berjaga. Menghela napas, Hinata mulai melangkah meninggalkan kedai untuk menyebrang ke kafe yang dimaksud.

Telapak tangannya semakin dingin ketika tiba di pintu kafetaria, berkali-kali dia menetralkan detak jantung yang malah berdebar lebih kencang. Sebelah tangan mendorong pintu, suara gemerincing yang menandakan benda itu terbuka tiba-tiba membuatnya jadi gugup. Setelah mengedarkan kedua matanya ke seluruh sudut ruangan, Hinata menemukan Mebuki yang duduk di salah satu kursi paling pojok di kafetaria tersebut. Hinata secara tidak sadar menelan ludah, kaki jenjangnya mengambil langkah semakin mendekat.

“Duduklah.” ujar wanita bermarga Haruno tersebut.

Hinata menurut, dengan gerakan yang kaku dia duduk di depan Mebuki, dia bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar karena rasa takut yang terus membesar setiap detik.

Why ME? [SasuHina]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang