18.30
Setelah salat maghrib berjamaah dengan Bian, Nara beranjak untuk menyiapkan baju yang akan dia dan Bian kenakan di acara makan malam Tante Jihan. Jujur, dalam hati terdalam Nara, jika dia boleh dan diperkenankan untuk memilih, dia memilih untuk tidak datang. Tahu apa yang menjadi ketakutannya? Pertanyaan tidak mutu dari mulut-mulut mereka yang tidak tahu kejadian sebenarnya.
Nara tahu, keluarga Bian memang keluarga berkelas menengah ke atas. Dia hanya berharap tidak ada pembicaraan semacam itu. Dia hanya ingin berkenalan dengan keluarga besar suaminya. Dia hanya ingin selangkah lebih maju dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Nara mengambil beberapa baju yang sama dengan Bian. Dia memilih, namun bingung. Akhirnya, dia memberanikan diri untuk buka suara. "Mas, mau pakai yang warna biru atau cokelat?" tanya Nara sambil menunjukkan dua baju yang dia pegang di tangan kanan dan kirinya.
Bian yang tengah duduk di tepi kasur itu berpikir sejenak. "Biru aja," Nara lekas mengangguk dan menggantung baju cokelat yang dia pegang itu. Nara pun memberikan kemeja berwarna biru itu kepada Bian.
-
Bian dan Nara sudah siap. Seperti biasa, Nara terlihat cantik dengan dress selutut yang dia kenakan. Berwarna biru juga, senada dengan Bian. Make up tidak tebal, namun masih terlihat pantas. Mereka pun berjalan beriringan turun menuju lantai satu. Ternyata, Kaila dan Hanna sudah siap. Mereka menunggu di ruang keluarga.
"Aduh, cantik banget anak Ayah," puji Bian ketika melihat Kaila dengan dress panjang berwarna putih. Rambutnya dibiarkan tergerai dan menggunakan bandana berwarna ungu.
Kaila tersenyum. "Ayah juga ganteng, Bunda cantik," kata Kaila sambil menyeringai. Nara dan Bian sama-sama tersenyum.
"Ya, udah, yuk," ajak Hanna sambil berdiri. Mereka berempat pun berjalan menuju pintu utama.
Nara hanya berharap perasaannya malam ini stabil. Tidak ada drama tangis menangis lagi. Setelah semalam dia membenahi diri, semoga memang ada yang berubah. Tak harus banyak, setidaknya dia tidak labil lagi.
-
Perumahan Dahlia Permai; Rumah Jihan
19.00
Perjalanan dari rumah menuju rumah Tante Jihan memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Sebenarnya bisa lebih dari itu, Bian membawa mobilnya dengan gesit. Hal itu karena Hanna sudah lima kali ditelfon oleh tuan rumah untuk lekas sampai.
Hanna, Bian, Nara, dan Kaila pun turun dari mobil saat Bian sudah selesai memarkirkan di teras rumah Tantenya itu. Bian dan Nara berjalan beriringan. Bian menggandeng tangan Nara. Awalnya Nara seperti menolak, namun Bian eratkan gandengan tangan itu.
Hati dan perasaannya boleh tidak baik-baik saja, tapi wajarkah menunjukan itu di depan orang banyak? Terlebih saudara-saudara terdekatnya, Bian rasa tidak pantas.
"Oma," panggil Bian menyalami Oma Tari. Beliau adalah Mama dari Hanna. Umurnya sudah senja, namun dia masih sehat. Apalagi jika berkumpul keluarga seperti ini, Oma Tari akan sangat bahagia. Nara pun juga menyalami Oma Tari.
Oma Tari terlihat tersenyum. "Cucu kesayangan Oma akhirnya datang juga. Ini Nara, ya?" Nara terlihat mengangguk dan tersenyum. Ini pertemuan kedua mereka setelah dulu di akad nikah. Ternyata ingatan Oma Tari masih terjaga hingga saat ini.
"Putramu yang satu lagi ke mana, Hanna?" tanya Oma Tari ke Hanna yang juga berada di depannya itu.
Hanna tersenyum mengingat David. Dia memang selalu menyibukan diri entah dengan kegiatan apa. "David sibuk, Ma. Biasalah anak muda. Nanti kalau sempat katanya mau nyusul," kata Hanna menjelaskan. Oma Tari terlihat mengangguk dan mempersilakan Bian masuk ke ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...