09

13.6K 1.7K 65
                                    

"Membahagiakan diri sendiri meski kita tahu ada banyak kesalahan dalam diri kita sendiri bukan tindakan tidak tahu malu.

Ingat! Kita hanya manusia."

.

.

.

Dokter memberiku perban untuk membantu mengembalikan pergeseran sendi dan juga memberiku salep untuk bekas luka yang ku dapatkan di wajah.

Sejak meninggalkan rumah sakit Arka hanya diam. Tapi meskipun aku tidak melihat, aku tahu Arka berkali-kali melihat ke arah tanganku sembari mengemudikan mobilnya.

Mungkin dia masih ingin tahu siapa yang membuat tanganku seperti ini. Tapi aku lega dia tidak mendesakku.

Masalah dengan senior, aku memutuskan tidak memperpanjangnya. Aku tidak ingin terlibat dengan mereka lagi apalagi sampai menambah garam ke dalam luka mereka setelah di permalukan dan mendapat hukuman dari pihak kampus.

Mobil hitam sport ini berhenti di sebuah kafe atau mungkin juga restoran.

Aku tidak tahu harus menyebut tempat ini apa. Karena meskipun namanya kafe, tapi mereka juga menyediakan menu berat untuk di makan.

Aku menoleh ke sebelah tempat aku duduk, pemandangan rimbun pepohonan hijau menyambut pandanganku. Membuatku merasa rileks dan damai melihatnya.

Bayangkan, jika berjalan-jalan di bawah pepohonan itu dan hanya terdengar suara hewan liar. Pasti menenangkan.

Meski cuaca sedang panas, tapi anehnya restoran outdoor ini terasa sejuk. Mungkin karena pemandangan alam di sebelahnya atau karena hembusan anginnya yang dapat mengacaukan mahkota orang-orang.

"Arka," panggilku setelah dia selesai membuat pesanan.

"Hm, kenapa?"

Aku terdiam sejenak, memikirkan kalimat seperti apa yang harus aku tuturkan untuk menanyakan tentang maksud dia melakukan semua itu padaku.

Aku ingin tahu apa yang dia pikirkan tanpa menebak-nebak sendiri.

Kenapa harus aku? Kenapa dia tidak berhenti mengganggu dan mendekatiku ketika dia sendiri sudah punya banyak teman dan orang lain di sekitarnya. Dan kenapa harus aku ketika ada banyak orang yang lebih baik dariku?

"Kenapa kamu terus gangguin aku?"

Arka terdiam tanpa mengalihkan pandangannya dariku, mungkin dia sedang memikirkan kata 'mengganggu' yang aku maksud.

"Aku nggak gangguin kamu," jawabnya sambil menyilangkan kaki dan menopangkan siku pada meja.

Dia pasti merasa begitu.

"Tapi aku terganggu sama kamu," jawabku terus terang.

"Kenapa?"

Aku melihat ke pundaknya, tidak berani melihat wajahnya apalagi matanya.

"Aku terganggu sama semua yang kamu lakuin."

[BL] REFRACTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang