01

45.6K 2.9K 250
                                    

"Karena orang lain tidak akan mampu menanggungnya sekuat kamu. Jadi yang spesial itulah untukmu."

.

.

.

Di berbagai aspek kehidupan mana pun, atau jenis kehidupan seperti apa pun selalu ada tingkatan kasta di dalamnya. Dari kasta yang paling tinggi di atas, menengah dan yang terbawah.

Mereka yang berada di kasta teratas adalah orang-orang yang di lahirkan dengan segudang keistimewaan. Baik dari segi wajah yang tampan, keluarga sempurna, latar belakang yang terhormat, kecerdasan dan kepintaran, harta melimpah maupun bakat.

Dan aku di antara semua orang itu adalah nol. Satu hal yang pasti adalah aku tidak akan pernah menjadi bagian dari mereka, karena tempatku berada di kasta yang paling rendah.

Aku tidak punya satu pun dari semua pilihan itu dalam diriku maupun kehidupan yang aku jalani. Aku hanya orang biasa yang benar-benar biasa, tidak kaya, tidak memiliki keluarga yang bagus atau sempurna, dan tidak pintar apalagi tampan. Aku jauh dari semua itu.

“Buat apa lo hidup kalau nggak ada baiknya. Mendingan mati aja sana!”

Itu adalah salah satu komentar paling berkesan yang di lontarkan oleh seorang teman SMA ku dua tahun yang lalu.

Sejak aku dilahirkan ke dunia dan bisa membedakan ayah dan ibu, aku sudah sering mendapatkan perlakuan berbeda dari orang-orang. Dan semua itu telah menjadi kebiasaan untuk di terima.

Kehidupan sosialku telah jauh dari kata teman. Sejak aku masih berada di bangku TK aku tidak pernah punya satu pun teman, pun sampai aku beranjak besar. Aku tahu kalau tidak ada seorang pun yang ingin menjadi temanku, itu sebabnya aku yang lebih dulu menghindari mereka.

“Heh! Dengerin gue nggak lo!” Ketua kelompok tugas mendorong lenganku dengan ujung laptopnya.

“A-ada apa?”tanyaku terkejut.

“Udah lo siapin semuanya, kan!?”

Aku mengangguk sebagai jawaban. Dia membicarakan perihal tugas kelompok yang akan di presentasikan siang ini.

“Awas aja sampai ada yang kurang, buruan kirim ke gue filenya!”

“Buru ih, bangsat! Ngapain lo malah ngeliatin gue?!” Gadis itu menggertak dengan wajah yang kesal.

“O-oke.”

Aku selalu ingin bisa membalas atau melawan perlakuan seperti ini, tapi mana berani aku melakukannya. Pada akhirnya aku hanya mengiyakan dan menuruti mereka.

Beberapa hal negatif yang kita dapatkan sebenarnya bukan karena kita menerimanya dengan lapang dada, tetapi karena kita sudah terlalu terbiasa sampai tidak lagi sadar kalau semua itu sudah menyakiti diri kita sendiri.

Setelah mengirim laporan pada ketua kelompok, aku langsung bergegas ke kantin untuk makan siang atau mungkin sebenarnya ini adalah sarapanku. Tadi pagi aku terlambat bangun karena begadang semalaman menyelesaikan tugas laporan ini.

Sepiring nasi dengan lauk sederhana yang murah telah menjadi menu sehari-hariku. Aku tidak pernah mencoba mencicipi jejeran menu lainnya. Karena selain tidak mau buang-buang uang, aku juga tidak mau buang-buang waktu dan tenaga untuk mengantre.

“Eh, tumben banget mereka di sini.”

“Kating elit ke kantin, njir!”

“Ih, ganteng banget si Arka!”

[BL] REFRACTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang