20

11.2K 1K 7
                                    

“Deru nafas dan detak jantung yang seirama yang mendeklarasikan...”


.

.

.

Begitu memasuki private liftnya, Arka tidak melakukan apa-apa kecuali menciumku. Mengikis pikiranku tentang barang belanjaan di bagasi mobilnya yang di tinggalkan.

Dia menempelkan punggungku ke dinding lift yang pintunya belum tertutup sempurna. Menekan tengkukku hingga wajahku sedikit mendongak untuk menerima ciumannya yang terasa berbeda dari ciuman-ciuman yang pernah dia lakukan sebelumnya.

Lidahnya melesak ke dalam rongga mulutku ketika aku tidak berdaya menolak, dan tangannya melingkar di leherku.

Tubuhnya menekanku untuk menyandarkanku ke dinding atau lebih tepatnya membuat kami dekat tanpa jarak.

“Hah...”

Aku menghela nafas setelah Arka melepas ciumannya sejenak. Dia meletakkan dahinya di puncak dahiku, membiarkanku bernafas dalam waktu sekian detik sebelum mengklaim bibirku lagi.

Ciumannya berubah menjadi lumatan. Dia menggigit, dan menghisap bibirku sehingga rasanya itu membengkak dan basah. Aku membalas sebisaku, karena mengikutinya dengan baik itu di luar kemampuanku.

Setelah berada di depan pintu apartemennya, dia hanya melepaskan bibirnya. Menyandarkan punggungku ke pintu dengan tangan melingkar erat di pinggang dan tangan lain menekan sandi pintu.

Beep...

Begitu suara konfirmasi muncul, Arka memutar wajahku yang melihat usahanya menekan angka sandi ke arahnya kembali. Menyerang bibirku dengan bibirnya yang basah sambil menggiring langkahku masuk ke dalam.

“N-nafas...”

Mengambil nafas selagi dia berusaha membuka pintu apartemen sebelumnya tidak memberiku pengaruh apa pun. Arka memperdalam ciumannya terus menerus, mengambil bibirku tanpa jeda membuatku tidak bisa bernafas.

Arka menyandarkan punggungnya di balik pintu, menekan pinggangku ke pinggangnya. Ciuman yang panjang dan dalam ini aku pikir tidak akan segera berakhir cepat.

Pria tinggi di hadapanku tiba-tiba berhenti, menatapku dalam tiga detik.

“Kita pergi ke kamar,” ucapnya singkat.

“Ugh!”

Dia menegakkan badannya dan meraih kedua betisku sekaligus, mengangkatku ke atas pundak kokohnya dan membawaku ke kamar.

Dia membaringkanku di tengah tempat tidur beraroma sabun laundry dari seprai putihnya. Mata kita saling berkontak erat, dan satu-satunya hal yang bisa ku baca dari tatapa mata Arka di atasku adalah keinginan penuh.

“Aku khawatir nggak bisa melakukannya pelan, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut.

Aku terkesiap mendengarnya masih tetap meminta persetujuanku. Itu memalukan mendengar dia mengatakannya langsung, tapi itu juga menenangkan.

“Aku nggak mau nyakitin kamu,” jelasnya sembari mengelus pipiku.

Aku mengangguk samar. Tapi perutku terasa menyengat dan pipiku seperti akan terbakar. Aku malu menyetujui keinginannya.

Arka menciumku lagi dengan lebih lembut dan tangannya bergerak melepas kaitan kancing kemejaku. Lidah dan bibirnya menjelajah ke pipi, dagu, dan leherku.

[BL] REFRACTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang