Mengapa Nara merasakan nyaman? Mengapa? Padahal, beberapa hari lalu saat Bian dengan suka rela ingin memeluk, dia menolak dengan keras. Apa memang sebenarnya dekapan ini yang Nara butuhkan sedari hari kemarin?
Bian pun melepas pelukannya itu. Dia paham betul, perasaan istrinya ini masih sangat sensitif bila disinggung semacam ini. Dia memaklumi mengapa Nara bisa selemah ini. "Udah, ya, udah. Ngga usah nangis lagi," kata Bian sambil mengusap air mata Nara. Nara pun ikut mengusap air matanya.
Setelahnya, Bian menggenggam tangan kanan Nara. "Udah, ngga usah terlalu dipikirin. Ngga usah terlalu berlaurt-larut sama omongan orang. Saya juga ngga papa kamu mau hamil kapan aja," kata Bian sambil tertawa kecil. "Emang saya pernah nuntut? Emang saya pernah mengharuskan kamu buat segera hamil?" tanya Bian selanjutnya.
Nara hanya menggeleng lemah. Bian memang tidak pernah menuntut apapun kepadanya.
"Ya, udah. Kamu ngga usah takut, kamu ngga usah terlalu mikirin hal-hal yang kaya gitu. Masih banyak hal yang bisa bikin kamu seneng," jawab Bian.
Nara hanya bisa menunduk. "Kamu gampang, Mas, ngomong gitu. Aku yang ngerasain. Aku yang ngga baik-baik aja setiap kali ada yang ngomong kaya gitu ke aku," jelas Nara pada akhirnya.
Bian tersenyum. "Sini coba tatap mata saya," kata Bian. Nara masih menunduk. "Ra," panggil Bian. Nara pun mendongak dan memberanikan diri untuk menatap lekat mata suaminya itu.
Bian pun juga menatap mata istrinya yang sudah memerah itu. "Kalau kamu ngomong saya baik-baik aja, saya gampang kasih nasihat ke kamu, saya gampang buat tenangin kamu pakai kalimat-kalimat yang manis, itu salah," jelas Bian. "Saya juga rapuh kalau ditanya mengenai hal demikian. Tapi, saya berusaha kuat di depan kamu. Saya ngga tega ngeliat kamu kaya gini, apalagi kalau nanti saya ikut lemah sama kamu," kata Bian sambil merapikan rambut Nara ke belakang telinga.
Bian memiliki kelemahan yang sama. Walaupun ini pernikahan keduanya, tapi hati dan perasaannya masih seperti baru pertama kali menikah yang jika disinggung mengenai anak di dalam hatinya akan merasa berdesir.
Nara mengernyit heran.
"Kamu mungkin ngga tahu, kemarin saat Mbok Nah cerita tentang gimana mantan istri saya ngomong ke kamu, saya juga sakit hati, Ra. Walaupun saya ngga bisa ngerasain sakit hatinya kamu, tapi saya paham gimana rasanya," jelas Bian. Bian seperti mencurahkan semuanya yang belum dia sampaikan selama beberapa hari kemarin.
Nara masih saja diam. Dia hanya mendengar penjelasan suaminya ini.
Bian menarik napas panjang, lalu dia hembuskan secara kasar. "Jadi, udah, ya. Semakin kamu kaya gini, semakin hati saya sakit juga," kata Bian yang membuat Nara justru merasa bersalah.
Di satu sisi Nara memang marah, tapi di lain sisi, ternyata dia menjadi orang yang egois. Membiarkan suaminya merasakan kesakitan sendiri, tanpa berbagi dengannya kemarin. Dengan setengah sadar, Nara memeluk Bian. Tangannya dia lingkarkan ke perut Bian, kepalanya dia sandarkan ke bahu kiri Bian.
"Aku minta maaf," kata Nara sambil masih sesekali sesenggukan karena menangis. "Maaf kalo kemarin aku ngga bisa ngertiin posisi kamu juga. Maaf kalo aku egois karena ngga denger penjelasan kamu," sambungnya lagi. Bian pun bergeser sehingga Nara mengangkat kepalanya.
Bian justru menyeringai. Lucu sekali. "Jauh-jauh ke rumah Tante Jihan, cuma buat kita baikan kaya gini," kata Bian sambil tersenyum. Itu lebih dari cukup untuk dikatakan manis.
Bian pun mengusap air mata yang masih tersisa di pipi Nara. "Kamu ngga salah, saya yang salah. Saya yang harusnya minta maaf sama kamu. Maaf, ya, udah bikin kamu jadi kaya beberapa hari kemarin," kata Bian meminta maaf dengan tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...