Love at First Sight

3.3K 101 2
                                        

Aku bukanlah seorang agamis. Aku salah satu penganut-Nya tapi tidak sampai membatasi diriku dengan lakilaki.  Aku masih bisa bergaul dengan mereka, pegangan ataupun saling tataptatapan.

Tidak pacaran hampir seumur hidup itu pilihanku. Bukan karna tidak ada yang mendekati, tapi akunya yang tak ingin di kekang. Lengket seperti karet pernah, namun meresmikannya dalam suatu hubungan pacaran tidak pernah.

Entah itu bisa di hitung sebagai pacaran atau tidak.  Pokoknya selama hidupku terkekang dengan tali status pacaran tidak pernah terjadi.

Jadi bisa di pastikan aku tidak pernah sampai berani menginap di tempat mereka,  rumah ataupun apartment. Aku tidak akan selancang itu,  memasuki wilayah orang lain yang tidak mempunyai status resmi di hidupku.

Namun sepertinya itu terpecahkan.  Aku sekarang terbangun di kamar yang tidak ku kenali.

Aku memegang kepalaku saat pusing dan mual menyerang.  Seketika gejolak perut membuatku berlari ke kamar mandi.  Mengeluarkan isi apapun yang ada di perutku. Badanku lemas,  hanya bisa menumpukan berat badanku di tangan yang bertumpu di closet.

Pandanganku mulai menghitam, tapi aku merasakan seseorang datang dan menyekak mukaku dengan handuk basah.  Mengangkatku dan menaruhku kembali ke tempat tidur.

"Tetaplah di tempat tidur."

Suara berat itu terdengar sebelum kesadaranku benarbenar terenggut.

....

Karin kembali tebangun saat langit gelap gulita. Yang di rasakannya pertama kalinya adalah rasa kebas di tangan kirinya dan hembusan nafas di atas kepalanya.

Bangun dari tidurnya,  matanya menjelajah ke seluruh ruangan dan berhenti di tangannya yang di infus.

"Jangan banyak bergerak." Karin langsung menengok ke arah kanan. Matanya langsung berhadapan dengan mata tajam seorang pria. "Kau masih sedikit demam.  Jangan banyak bergerak nanti infusmu copot."

Karin hanya diam tidak menjawab.  hanya memperhatikan pria itu yang bangkit dari tempat tidur dan menyalakan lampu.

Matanya memicing sesaat, setelah itu netranya fokus ke arah pria tampan di hadapannya.  Dia tinggi, dengan kulit yang sedikit gelap.  Badannya tegap dan kekar dengan kaos hitam ketat membungkusnya.  Kakinya panjang,  dengan celana tidur garisgaris melingkupinya.

"Maaf, tapi Kau siapa ya?" Karin berdehem sejenak menetralkan suaranya yang serak.

"Kevin." Pria itu memainkan ponselnya yang tadi di ambilnya dari meja tidur.

Karin memutar bolamatanya jengah. "Okey,  tapi bisa lebih spesifik? Karna aku tidak ingat punya teman namanya Kevin."

"Kita teman minum di bar kemarin.  Kau demam tapi memaksa untuk minum." Kevin berjalan ke arahnya dan duduk pas di depannya. "Lalu kau pingsan,  dan aku membawamu ke apartmentku."

Kevin mengangkat tanganya perlahan,  ingin menyentuh sisi pipi Karin. Tapi tangan itu tak sampai ke tujuannya, karna Karin sudah lebih dulu menepis tangan Kevin.

"Terimakasih karna sudah mau menolongku, tapi aku tidak semurah itu.  Bisakah aku pulang sekarang?" Mata Karin memicing garang. Karin tidak bisa mengelak kalau pria di depannya ini sangat hot dan dia sangat tergoda untuk masuk kepelukan pria itu.  Tapi harga dirinya sangat menentang hal itu.

"Tidak. Kau masih demam, setidaknya tunggulah besok."

"Aku harus berkerja besok."

"Kalau begitu tunggulah sampai pagi. Ini terlalu malam untuk seorang wanita sakit berkeliaran di jalan." Kevin beranjak ke arah meja kerjanya.  Mengambil laptop sebelum ketukan terdengar.

Oneshot! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang