Jodoh

3.6K 113 3
                                    

Aku menatap lurus lakilaki di depanku ini. Dia tinggi, sekitar 188cm. Untuk bersanding di sampingnya itu tidak terlalu buruk karna aku 165cm. Bahunya tegap dan cukup berotot namun tidak berlebihan.

Kulitnya putih, tidak seperti putih orang Korea tapi kulit dia masih bisa di katakan putih. Wajahnya tirus tapi masih ada kesan manly. Matanya sedang, tidak kecil tidak besar juga. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Oh, jangan lupa kesung pipi menambah kegantengannya.

Sempurna bukan? Tapi tidak dengan umurnya. Dia sudah 30tahun, ssdangkan aku baru 22. Walaupun hany beda 8 tahun tapi menurutku ideal pasanganku harus tidak lebih dari 3 tahun.

"Jadi, pertunangannya di tetapkan bulan depan ya?" Orang tuanya tersenyum teduh. Memberikan usulan yang menurutku gila. Baru aja ketemu udah harus tunangan sebulan kemudian.

"Tidak-tidak lebih baik 2 minggu dari sekarang saja." Sepertinya orang tuaku lebih gila.

Aku menatap orang yang akan di jodohkan denganku dengan tatapan mematikan. Dia balas menatapku datar.

Aku menggerak-gerakkan kepalaku memberikannua kode agar pernikahan ini di batalkan.

Seakan mengerti kodeku dia mulai bersuara, "Seminggu lagi aja gimana, pah?" Orang itu mengatakan itu sambil menatap lurus mataku. Bibirnya yang tipis menyeringai ke arahku, seakan membodohbodohiku.

Aku melongo menatapnya. Fix dia paling gila di sini.

"Kalau kamu sudah siap, boleh saja sih minggu depan. Yasudah tunangannya di tetapkan minggu depan ya." Ayahku berkata dengan riang. Setelahny para orang tua berunding tetang dekorasi dan lain sebagainya. Aku hny bisa diam pasrah akan keadaan.

"Ayo keluar." Suara berat mengintrupsi lamunanku. Tanganku ditarik tampa sepersetuajuan. Mengikuti langkahnya dalam diam.

"Apa?!" Kami sampai di belakang retaurant. Suasana sangat sepi, hanya ada kami di sini.

"Aku tau ini hanya sebuah perjodohan bagimu. Tapi aku tidak ingin mainmain dengan pernikahan ini, Lilia." Suara seksi dan berat itu kembali masuk ke telingaku. Coba situasinya tidak seperti ini, mungkin aku akan jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.

"Aku juga tak ingin mainmain. Aku ingin menikh dengan orang yang ku cintai, dan ku yakin itu bukan kau, Jeremy." Aku menatap tajam matanya. Mengungkapkan keseriusanku padanya.

"Kau yakin?"

"Ya! Pernikahan yang di landaskan paksaan tidak akan pernah berhasil!"

"Mau bertaruh?" Jeremy tersenyum jenaka. Seakanakan omonganku hanya ocehan anak kecil.

Aku diam tidak menanggapinya. Aku hanya bisa mendongak keatas untuk menatap yajam tepat di matanya. "Ku ingatkan kalau kau lupa. Kita bahkan tidak mengenal satu sama lain. Kita di sini hanya sematamata wasiat kakek. Jadi jangan berharap sesuatu yang mustahil!"

Jeremy memandangku tak suka. Dia mulai maju kearahku. Mengikis jarak diantara kami. Jeremy berdiri menjulang di depanku, tatapannya sangat mengintimidasi. "Kalau kau sangat tidak ingin menikah denganku, kenapa tidak kau coba hentikan saja?"

"Aku sudah coba bahkan sebelum kau suruh!" Lilia sudah berusaha untuk tidak datang ke acara ini, mulai dari mogok makan sampai kabur dari rumah. Tapi keberadaanku di sini menjadi jawaban kesiasiaan tindakanku itu "Usaha terakhirku tadi saat ku beri kode untukmu menolak. Tapi nyatamya kau malah memperburuk situasi ini."

"Kau sebut itu kode? Bahkan di mataku itu seperti memohon di percepat."

"Hah.. hahaha" Aku tertawa sinis, dan maju selangkah. Mengikis jarak di antara kami. Menaruh tanganku di bahunya, memeluknya. Mendekatkan wajahku ke telinganya, "Apa kau sedang membela diri atas ke egoisanmu itu? Ku pirkir kau cukup pintar untuk memberiku ruang walau hanya sebulan untuk menengalmu, tapi nyatanya kau sebodoh peliharaanku. Apakah gelar doktermu hanya sebuah tepelan?"

Oneshot! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang