π • LuJ

166 16 79
                                    

Bab 1
-Langit-

π

"Tolong saya nak!"

"Kemari, nak! Tolong saya!"

Entah dari mana datangnya pekikan yang menggaung tanpa wujud pemiliknya. Namun kalimat itu berulang seolah menyudutkannya, menekannya tanpa tahu apa yang sedang terjadi.

Gadis itu mulai resah, suara itu seolah memenuhi telinganya. Ia memutar tubuhnya dengan gusar ke sembarang arah, napasnya tersendat, matanya menyoba menelusur ruang hampa yang nyatanya tak bisa ia lihat. Semuanya gelap, hitam, tak ada siapa pun di sana.

Lututnya melemas, lantas terduduk begitu saja ia. Gadis itu merengek takut, tangannya tergerak untuk menutup kedua telinganya, menghindari lebih banyak suara yang memungkinkan memecah kepalanya.

Kring!

Dalam keadaan berbaring di atas kasur dengan sprei berwarna cokelat susu, gadis itu membuka matanya dengan bulir keringat yang menggantung di pelipis.

Napasnya menghembus panjang nan lega, meski tak sepenuhnya dia merasa aman. Karena meski itu hanya mimpi, anehnya selalu terjadi sudah dua tahun lamanya dengan mimpi yang sama.

Ini semua tidak beres.

Gadis itu mematikan jam weker yang berdiri gagah di atas nakas berwarna putih samping ranjangnya. Lalu bangkit dengan lamban sembari merapikan tempat tidurnya. Lepas itu dia berdiri menatap kasurnya sejenak tanpa alasan, dan memutar tubuh untuk memulai langkah.

"Astaga! Haish ... " Gadis itu mengelus dadanya usai dikejutkan oleh keberadaan cowok tengil yang tengah bersandar sambil bersidekap dada di ambang pintu kamarnya tanpa permisi. "Langit! Sejak kapan lo disitu!"

Cowok yang dipanggil Langit itu menyengir-memperlihatkan giginya hingga membuat matanya hampir lenyap tertutup. Dia merubah posisinya dengan berdiri tegak lalu mengangkat telunjuk kanannya.

"L u -lu c a -ca s, Lucas! Tulisannya pake c, tapi dibacanya pake k, Jingga. Bukan langit!" koreksinya.

Jingga berdecak, dia menatap Langit dengan penuh kekesalan. "Bukan waktunya bahas nama lo! Lo dari kapan di sini, Langit! Lo liat apa selagi gue tidur tadi? Ngaku lo!"

Telunjuk yang tadinya terangkat, dia arahkan di antara dua lubang hidungnya. Bibirnya mengerucut, sementara matanya bergerak ke sana kemari. "Liat ... banyaaakk!!!"

Langit menunjukkan raut jahilnya diikuti dengan Jingga yang terus terbelalak ketika pikirannya terjun bebas karena jawaban cowok itu. Langit segera melarikan diri dari hadapan gadis itu sebelum tubuhnya dicincang tanpa ampun.

"LANGIT!!!!!"

π

Jingga menghentakkan kakinya disetiap langkah yang ia buat. Tangannya melipat di depan dadanya, sedang ekspresinya usai tadi tak juga meluntur, dia masih berkeinginan memukul wajah Langit.

"Masih aja manyun! Nanti bebek minder sama lo karna kalah jelek!" Ledek Langit yang sudah duduk di atas motor keluaran Honda yang masih dalam masa cicilan itu.

Jingga mempercepat langkahnya ke arah Langit yang menyibukkan diri mengelap spion. "Ngapain nungguin gue? Udah tahu gue lagi kesel sama lo!"

"Udah dulu keselnya ya tuan putri, saya butuh duit, makanya saya nunggu biar bisa ngojekin."

Langit mengangkat helm yang tadinya menggantung di lengannya, lalu mengenakannya pada kepala Jingga yang masih beruap. Tak lupa dia mengunci helmnya pada dagu gadis itu dan untuk sentuhan terakhirnya, Langit memukul helm yang sudah bertengger di kepala Jingga.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang