20π • LuJ

26 13 7
                                    

Bab 20
-Minta maaf?-

π

Jemari yang menggenggam sebuah kuas di atas kanvas itu nampak lihai menorehkan warna-warna cat yang semula dia letakkan di palet. Hanya tinggal beberapa sentuhan terakhir saja untuk menyelesaikan lukisannya.

Pagi ini kelas dimulai di ruang lukis, pelajaran seni oleh Bu Anne yang menugaskan mereka untuk membuat sebuah lukisan bertema siluet.

Jingga melukis siluet dirinya dengan langit ketika memandang senja kemarin. Lukisan yang sepanjang pembuatannya Jingga seringkali tersenyum sendiri mengingat hal-hal menyenangkan yang dia dan Langit lakukan.

"Ya romansa sih romansa temanya, tapi muka lo menghayati banget. Seolah-olah yang lo lukis itu elo sendiri tau nggak?"

Jingga melirik sebentar pada Oliv yang mengamati lukisannya. "Biarin."

"Tapi sumpah, lukisan lo bagus banget. Beda seratus delapan puluh derajat sama gue," ujar Oliv seraya menatap bergantian lukisan Jingga dengan miliknya.

Jingga melongok ke sebelah kanannya, menatap lamat lukisan Oliv lalu menangkan ibu jarinya. "Bagus kok itu siluet gajahnya."

"Tapi gue bikin beruang."

"Loh itu bukannya belalai?" tunjuk Grey yang tiba-tiba menimbrung dari sisi kanan Oliv, lalu menunjuk pada siluet yang katanya beruang.

"Ini ekor tauk!"

"'Kan ekor beruang pendek kenapa jadi panjang, Olip? Mana kupingnya gede banget lagi."

"Tapi katanya dulu ekor beruang panjang, terus ditarik sama temennya jadi pendek deh sampe sekarang," jelas Oliv.

"Sejarah dari mana itu, woi?"

Oliv menyengir kuda. "Fabel, hehe."

"Selamat pagi semuanya, pengumuman atas nama Chalondra Jingga dan Lucas, harap datang ke ruang BK sekarang, terima kasih."

Kontan Jingga menolehkan kepalanya ke arah terakhir kali mendengar suara Langit mengacaukan teman-teman yang sedang melukis. Bersitatap sejenak seolah memikirkan hal yang sama.

"Kayaknya ini gara-gara lo kemarin bolos deh, Jing," bisik Oliv setelah menyenggol lengan Jingga dan menyadarkannya dari sesi bertatapan penuh tanya dengan Langit.

Tak ada balasan dari Jingga setelahnya, gadis itu mengalihkan tubuhnya menghadap meja guru, di mana Bu Anne baru saja duduk di sana setelah berkeliling untuk melihat -lihat lukisan mereka, ditambah menegur Langit yang usil dan menimbulkan kegaduhan.

Jingga mengangkat tangan kanannya setelah meletakkan kuas. "Bu, izin."

Bu Anne yang sudah tahu maksudnya pun mengangguk tanpa bertanya-tanya. "Silahkan."

Gadis itu melepas palet yang digenggam di tangan kirinya, lantas beranjak dari tempat duduknya untuk melangkah keluar ruangan tanpa mengajak Langit bersamanya.

"Hayuluu..." Beberapa anak kelasnya bersorak menakutinya hingga ia benar-benar meninggalkan ruangan.

"Jigong, tungguin!"

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang