33π • LuJ

12 13 0
                                    

Bab 33
-Rooftop-

π

Dering telepon yang berulang cukup mengganggu telinganya. Di tengah tidur nyenyaknya, gadis itu terpaksa membuka mata sedikit dengan rasa enggan juga kesal yang menyelimutinya.

Jika si penelepon tau waktu, atau setidaknya membangunkannya di saat matahari terbit, ia tidak masalah. Tapi apa? Ini jam SETENGAH DUA PAGI! Ayam saja masih berkelana di alam mimpi!

Jingga berdecak kesal sambil meraih ponsel di atas nakas yang tak hentinya berdering. Menggeser tombol hijau tanpa melihat sosok yang mencari ribut pagi-pagi.

"Halo!" ucap Jingga dengan nada kesal.

"Loh kok belum tidur, sih?"

Mendengar suara sahutan yang melayangkan pertanyaan, Jingga mengerutkan dahi, ia sontak melihat kembali layar ponselnya untuk memastikan siapa yang terhubung dengannya.

Dan benar saja, Langit orangnya.

"Udah malem loh Jigong. Iya sih gue tau hidup lo berat sampe bikin gabisa tidur, tapi 'kan lo harus—"

"Haisssutt-sstttt! Berisik lo! Justru lo yang bikin gue kebangun!!"

Terdengar suara tawa renyah yang terdengar begitu geli, membuat Jingga mendengus kesal. "Yaudah, yaudah... lanjut tidur lagi ya, yang nyenyaaakk sampe ketemu gue di mimpi lo, oke?!"

Klik.

Setelah mematikan telepon sepihak, gadis itu menghembuskan napasnya gusar. Ia hanya menggeser ponselnya di dekat tubuhnya berbaring, sebelum kembali menyambung tidur. Tapi,

Drrttt ... drrrrttt

"APAAN SIH LO GANGGU ANJIR! GUE MAU TIDUR!"

"Masih bisa tidur ternyata? Gue pikir masalah sekarang bikin lo nggak bisa tidur, bahkan gabisa hidup."

Tanpa perlu melihat kembali layar ponselnya untuk memastikan, Jingga sudah tahu siapa yang baru saja menjawab bentakannya.

"Mau apa lagi lo!?"

"Nggak banyak, cuma mau minta lo dateng ke sekolah besok."

Jingga tak menjawab, namun malah terdengar tawa dari pihak sana. Tawa meledek yang begitu menyebalkan.

"Hahaha, oh iya, sorry gue lupa. Lo di skors ya?"

"Kalo nggak ada yang lebih penting dari candaan lo yang garing, gue tutup telepon—"

"Eh, wait! Tunggu dulu dong, Jingga sayang. Gue punya penawaran bagus buat lo, tapi lo harus ke sekolah besok. Jam istirahat pertama, di rooftop."

"Yang bakal gue omongin mungkin jadi salah satu solusi buat masalah lo. Baik banget 'kan gue?"

Baik katanya? Bagi Jingga dia tidak lebih baik dari sosok makhluk jahat yang dikumpulkan dari seluruh dunia.

"Lo nggak dateng, lo yang bakal nyesel, Jingga. So, bye!"

Gadis itu, Hanna, mematikan sambungan teleponnya. Membuat Jingga menghembuskan napasnya dengan gusar, lantas mengembalikan ponselnya kembali di atas nakas.

Jingga berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos, sementara isi kepalanya berkelana, berpikir mengenai apa yang Hanna maksud tentang penawaran bagus itu. Juga dilemanya untuk menuntaskan rasa penasaran itu dan menemui Hanna, atau mengabaikan itu semua.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang