43π • LUJ

18 2 2
                                    

Bab 43
-Bukti-

π

"Pouch nya ketemu!"

Lantas merengkuh tubuh gadis itu atas rasa gembira yang tak terkira. Bagaimana tidak, pouch yang membuatnya berada di titik sekarang ini akhirnya berada di tangannya sekarang. Pouch pembawa masalah bagi semua orang. Pouch yang membuatnya kehilangan kedua orang tuanya sekaligus.

Jingga terbeliak sesaat, namun membalas pelukan hangat cowok itu padanya, turut merasakan kebahagiaan yang sama hingga Langit melepaskan diri dari pelukannya.

"Fajar," Jingga melangkah menghampiri Fajar yang terdiam di tempat enggan bersuara. Ia tak ingin mengusik momen bahagia keduanya, baginya sudah cukup untuk melihat orang lain tersenyum.

"Makasih ya, makasiiih banget. Gue nggak tau harus berapa kali lagi bilang makasih. Lo udah banyak banget bantu gue," kali ini ia memeluk Fajar yang hanya diam mematung, kemudian berujar pelan, "gue tau lo orang yang baik."

Namun baru saja hendak melepas pelukan itu, Fajar menahan tubuh gadis itu untuk mendekapnya kembali. Ia berbisik pelan, "sebentar aja, Jingga. Gue juga mau minta maaf sama lo, gue nggak nolongin lo dan biarin lo jatoh waktu kejar gue. Maaf ya? Gue nggak bisa nggak kepikiran soal itu."

Jingga menyunggingkan senyum, ia kembali memeluk Fajar yang nampaknya butuh ketenangan. Sampai akhirnya celetukan Langit membuat mereka reflek saling melepas.

"Katanya sebentar!"

Jingga bersitatap dengan Fajar lalu terkekeh bersama membuat Langit jengkel sendiri. Ia tidak suka menunggu terlalu lama untuk hal yang tidak penting.

"Oh iya Luk, gue saranin lo buka SD card itu di sini aja pasti ada file penting di dalemnya, sebelum ada yang sadar gue abis ketemu lo. Jaga-jaga aja, takut kenapa-kenapa di jalan," ucap Fajar.

"Pouch itu isinya SD card?" tanya Jingga polos.

Fajar mengangguk sementara Langit memicingkan matanya. "Lo ngedoain gue kenapa-kenapa?"

"Ya kaga. Terserah lo juga sih, gue nyaranin aja. Kalo nanti di jalan tiba-tiba ada yang nyopet jangan dateng ke gue," jawabnya sambil mengedikkan bahunya acuh.

"Jangan-jangan lo yang mau nyopet gue?" Langit menatap Fajar curiga.

"Ngapain gue kasih terus gue copet lagi?"

"Ya siapa tau lo cuma mau dipandang 'orang baik' sama Jingga?" Cibir Langit.

Mendengar cibiran itu membuat Fajar merasa terpancing dan akhirnya menjawab kesal. "Gue nggak selicik itu ya! Yang lo khawatirin itu harusnya komplotan pak Herman!"

Langit menurunkan sudut bibirnya seolah mengejek. "Ya lo kan juga komplotannya."

Fajar mengepalkan tangan, sudah tak sabar menghadapi Langit yang memang super menyebalkan. Pantas saja Jingga sering marah-marah padanya, cowok itu memang minta dibogem pakai ulekan emak.

Jingga berdecak, sudah jengah dengan adu mulut antara keduanya. "Langit udah napa, kita ikutin aja sarannya, daripada lo nyesel nanti?"

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang