6π • LuJ

59 13 15
                                    

Bab 6
-Orang lain-

π

"Ya lo nggak tau sih! Gue kayak orang bego di depan Fajar!"

Ini sudah kesekian kalinya Jingga memukul punggung Langit yang duduk memunggunginya sebab membonceng di atas motor.

Cowok itu tertawa keras-keras supaya terdengar. "Gue kan cuma mau bantuin lo, salah lagi kan gue."

"Salah lah! Kompromi dulu kek, apa kek! Bisa kan?"

Tak ada balasan jawaban lagi selain tawa Langit yang semakin terdengar menjengkelkan.

"Lo bilang apa sama dia? Jangan bilang, lo kasih tau kalo gue suka sama dia?"

"Ihh, rahasia lah!"

"Rahasia lo tuh bikin gue susah tau nggak?!"

"Yamaha ..."

"Beat nggak, sih?"

"Itu Honda bego!"

Perdebatan singkat itu diakhiri damai dengan tawa renyah keduanya. Beberapa saat setelahnya Langit menghentikan motornya tepat di sebelah halte yang semalam Jingga ceritakan.

"Serius di sini?"

Jingga mengangguk yakin. Matanya mengelilingkan pandang ke sekitar lingkungan sana sambil menjajakan beberapa langkah dari motor Langit.

Telunjuknya terangkat—mengarah kepada sebuah warung yang jaraknya hanya beberapa meter dari sana, lalu menoleh ke belakang.

"Coba tanya ke sana yuk?"

Tak membutuhkan persetujuan Langit, Jingga sudah melangkah mendahului dan membiarkan cowok itu mengekor beberapa langkah di belakang hingga kaki mereka berhenti melangkah tepat di depan warung sembako kecil yang Jingga maksud.

"Beeliii!" pekik Langit bernada, berulang.

"Heh! Kita ke sini mau cari info, bukan mau jajan!"

Langit mendesah, menyeka dahinya yang kering dari keringat. "Panas, Gong. Aus!"

"Beli apa?"

Sosok wanita kisaran umur separuh abad itu muncul dari dalam, dengan seulas senyum ramah beliau menyambut kedatangan kedua orang yang disangka pembeli.

"Beli teh pucuk dingin Bu, dua ya?" Langit membalas seraya menunjukkan dua jarinya sebagai siratan.

"Teh pucuknya satu aja Bu, satunya lagi Aqua botol," ralat Jingga.

Tidak menunggu lama, ibu pemilik warung menyerahkan kedua minuman yang di pesan, kemudian menerima lembar uang dari Langit.

Jingga memerhatikan Langit yang langsung menegak minumannya sampai habis tak bersisa. Bahkan telinganya ikut mendengarkan suara desah kelegaan Langit usai tuntas rasa hausnya.

Gadis itu beralih kembali pada si ibu warung. "Ibu maaf, saya boleh tanya sesuatu?"

Wanita tersebut mengangguk perlahan dengan senyuman yang tak memudar. "Mau tanya apa ya?"

"Eum, gini Bu, ibu ada liat sesuatu kejadian apaaa gitu Bu di sekitar sini? Rentang waktunya kisaran ... lebih dari dua tahun lalu."

Ibu pemilik warung tersebut berhenti tersenyum, berganti raut berpikir —mengingat-ingat dengan mata yang melirik ke sudut kanan atas.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang