41π • LUJ

18 2 3
                                    

Bab 41
-Balikan?-

π

"TOPI HITAM ITU PUNYA SAYA! SAYA YANG PAK KEPSEK CARI!"

Tapi kenapa? Apa yang membuatnya datang di saat menegangkan seperti ini? Di tambah, dia datang untuk mengakui bahwa ialah pemilik topi yang dicari.

Jadi jelas, bukan Langit yang mengakuinya. Namun sosok lain yang tiba-tiba berdiri di depan podium, hanya berjarak dua meter dari sana. Tubuhnya yang tegap atletis itu, dengan tegas memberikan bahasa tubuh kepercayaan diri yang ia tunjukkan. Netra gelapnya menyorot menantang sang kepala sekolah yang masih berdiri di podium.

Semua orang terkejut akan kehadirannya. Tercengang melihat sosok senior tampan itu kembali menginjak area sekolah ini setelah menghilang tempo lalu, yang dirumorkan telah pindah sekolah.

Yap, dia Fajar.

"Caper banget dah, iya nggak Gong?"

Jingga mengabaikan ocehan Langit yang tak bermutu, matanya masih terpaku pada sosok Fajar di sana. Sementara isi kepalanya terus menerus di paksa berpikir mengenai alasan paling logis atas apa yang dilakukan cowok itu sekarang. Apa yang sedang ia rencanakan?

Dan reaksi kepala sekolah jauh lebih mencengangkan. Bagaimana tidak? Herman mengubah raut wajahnya seratus delapan puluh derajat dalam sekejap. Yang semula memasang wajah tegas garang, kini tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tapi tawa itu, terdengar mengerikan, membuat merinding mereka yang berada di sekitarnya.

Memangnya apa yang lucu?

"Hahaha, serius, Fajar. Kamu mau permainkan saya? Kamu kira saya sebodoh itu?"

Nampak gurat kebingungan di wajah cowok itu, begitu pun dengan orang-orang yang berada di atmosfer yang sama.

Melihat raut itu, Herman mengerti dan segera menjawab pertanyaan yang tanpa sadar terlihat dari ekspresi mereka. "Sejak kapan kamu suka gambar Hello Kitty? Di dalam topi pula gambarnya."

Mendengar itu Jingga menggigit bibir bawahnya, merutuki kebodohannya dalam hati. Ia lupa sempat menggambar karakter kartun itu ketika sedang bosan belajar. Sebenarnya bukan hanya di topi itu ia iseng menggambar, tapi kebetulan dalam kasus ini, keisengannya berbuah hal memalukan.

Ia meringis menatap Fajar yang terkejut atas penuturan Herman, di tambah, reaksi orang-orang yang mendengar pun menahan tawa. Jingga tahu, ini sangat memalukan bagi reputasi Fajar. Tapi ini salahnya sendiri mengakui barang yang bukan miliknya kan?

"Topi itu punya saya, lebih tepatnya peninggalan kakak perempuan saya. Mungkin dia yang gambar di sana," ujar cowok itu yang bersikukuh dengan pengakuannya.

Herman menggeleng tak berusaha memercayai kata-kata Fajar sama sekali. "Kamu nggak usah makin ngaco, saya tahu dan yakin, topi itu punya murid perempuan."

Kali ini ekspresi Fajar berubah, ia menunjukkan seringai di sudut bibirnya. "Kalau gitu, kenapa murid laki-laki juga diperiksa? Nggak mungkin pemiliknya ada dua orang kan?"

Pertanyaan Fajar barusan berhasil membuat semua orang terdiam dan menganggap persepsi Fajar adalah yang paling masuk akal. Bahkan kini Herman mengubah kembali ekspresinya seperti semula.

Apa yang memantik Fajar untuk berkata demikian? Apa cowok itu ingin membongkar apa yang terjadi sebenarnya kemarin?

"Saya mau cari komplotan pemilik topi ini. Mereka penyusup unit saya. Sekarang kamu paham kenapa saya nggak percaya topi ini punya kamu?"

Semua orang kembali dikejutkan oleh fakta. Penyusup? Bagaimana bisa murid sekolah menyusup unit pemilik sekolahnya sendiri? Dan, untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja menjadi balok-balok tanya yang saling bersahutan dalam benak masing-masing.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang