13π •LuJ

38 13 28
                                    

Bab 13
-Hadiah-

π

Sebelumnya, Jingga hampir tidak habis pikir tentang apa yang sempat terbesit dipikirannya, tentang kemungkinan yang tidak mungkin itu terjadi. Tapi di sini lah mereka sekarang, di dapur rumah Jingga yang dalam sekejap kehilangan kebersihannya.

Jejemari itu dengan lihai mengaduk adonan kue dalam wadah, setelah menyatukan beberapa bahan mentah menggunakan mixer berwarna putih yang beberapa saat lalu dia hentikan.

"Enak nggak kira-kira ini?"

"Nggak."

Langit yang semula hanya duduk diam memerhatikan semua hal yang Jingga lakukan sejak awal, menegakkan bahunya dengan alis terangkat. "Lo bisa buat kue nggak, sih sebenernya?"

Brak

"Lo bisa diem aja nggak? Udah nggak bantuin, pake nanya-nanya, lagi!"

Tak ada yang bisa cowok itu lakukan kecuali menyengir setelah dikejutkan dengan Jingga yang menghempas wadah berisi adonan tersebut ke meja.

Jingga melirik sinis sebelum akhirnya kembali mengoceh dengan fokus yang juga kembali pada kegiatan sebelumnya.

"Lo sebenernya minta bantuin atau emang niat nyuruh gue, sih? Kalo minta bantuin tuh gue cuma ngerjain 10-20% atau maksimal 50% dari yang lo kerjain, ini mah gue semua!"

Terdengar suara tawa meledek yang begitu menjengkelkan.

"Kalo kata orang tuh ya Jing, bantuin orang nggak boleh setengah-setengah."

"Pala lu gue gedik ya lama-lama!" Kepala Jingga terangkat hanya untuk menodong spatula pengaduk pada Langit. "Enak lo ngomong, gue yang susah! Udah buang waktu gue buat belajar, nggak ada untungnya juga lagi di gue!"

"Jingga jangan marah-marah terus, nanti—"

"APA! Lo mau bilang cepet tua?!" tukas Jingga sewot.

"Enggak," sesaat Jingga bisa menahan kemarahannya. "Cepet koit."

"LANGIIIIIT!"

"Jinggaaaa!"

"Iiih!!!!"

"Aaah!!!"

Dada Jingga bergemuruh dengan napas naik turun karena amarah. Tatapan tajam yang seolah menusuk itu hanya terlihat menggemaskan di mata Langit. Dan jelas hanya gelak tawa menyebalkan Langit yang mengakhiri dialog membeonya. Dia merasa menang sekarang.

Gerutu dalam hatinya hanya membuat kekesalan itu beradu padu. Tapi itu terjadi sebelum apa yang dilakukan Langit sekarang membuat kemarahannya seolah sirna. Darah yang semula berdesir dengan didihan panas di puncak kepala, kini menghangat disertai debaran dalam dada.

Langit kini berdiri tepat satu langkah di belakangnya. Satu langkah yang membuat tak lagi ada jarak di antara keduanya.

Yang membuat Jingga berpikir tentang hal romantis ialah ketika dia mengingat sebuah adegan dalam drama yang pernah Oliv tunjukkan padanya. Di mana si cowok memeluk dari belakang ketika sedang memasak, dan menjatuhkan dagu di bahu perempuannya.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang