30π • LuJ

19 12 8
                                    

Bab 30
-End up everything-

π

Tepat setelah ia memarkirkan motornya di garasi, Jingga baru tersadar bahwa ia tadi melewati sebuah mobil asing yang terparkir di pekarangan rumahnya. Pikirannya sudah di antah berantah, yang membuatnya lebih sering kehilangan fokus sejak kejadiannya di sekolah tadi.

Ia mengabaikan rasa penasarannya mengenai siapa yang sedang bertamu di rumahnya, lantas kembali melangkah masuk ke dalam sana.

Baru saja hendak bersalaman dengan tamu seperti yang kedua orangnya tekankan untuk bersikap sopan, namun ia lebih dulu dibuat terkejut dengan sosok yang kini tengah duduk manis di sofa sembari berbincang dengan papanya.

Kontan terbeliak dan membeku sesaat di tempat, sampai akhirnya tamu tersebut menyadari kehadirannya lalu memberikan tatapan sekaligus senyum dominasi seolah mengejek.

"Saya cuma mau sampein itu aja, jadi saya langsung pamit pulang ya om?" ujar sosok itu pada Dery setelah mengalihkan kembali pandangannya dari Jingga.

Kunci motor yang semula ingin ia letakkan di saku pun terjatuh sebab kurang tepat memasukkannya. Hingga suara kunci yang berdentum di lantai pun kontan menimbulkan perhatian dari kedua orang yang berada di ruang yang sama.

"Jingga, sini kamu!" titah Dery setelah mengetahui keberadaan Jingga di dekat pintu masuk.

Jingga menelan ludah sebelum menuruti perintah Dery untuk menghampirinya. Cepat-cepat ia melangkah, sebab papanya tidak suka orang yang lelet, dan ia tidak ingin menimbulkan masalah lagi.

Meski ia tahu, sejak melihat seseorang yang bertamu di rumahnya itu, masalah sudah pasti semakin erat mencekiknya setelah banyak hal menyakitkan terjadi di sekolah.

"Papa udah denger semuanya dari temen kamu ini, dan jelas kamu salah. Sekarang, papa mau kamu minta maaf!"

Ia tahu hal ini akan terjadi sekalipun ia menyembunyikan surat skorsnya. Papanya akan lebih dulu tahu semua ceritanya dari sudut pandang lain tanpa peduli dengan cerita dari mulut anaknya sendiri. Tidak heran, Jingga memang selalu salah di mata papanya.

"Pa, tapi Jingga nggak salah, kenapa Jingga harus minta maaf?" ujarnya yang berusaha membela diri. Ia menatap Hanna geram, sementara Hanna merunduk seolah tidak enak hati.

"Jingga nggak harus minta maaf kok om, nggak perlu dipaksa. Saya udah maafin Jingga. Kasian dia om, lagipula Jingga juga udah dihukum disekolah, diskors satu Minggu. Jadi menurut saya sudah cukup, karena tujuan saya kesini cuma mau om sama tante bisa nasihatin Jingga, supaya ambisinya nggak merugikan orang lain. Itu aja," jelas Hanna yang membuat Jingga semakin gerah, membuat darahnya mendidih atas apa yang Hanna lakukan secara bertubi-tubi padanya.

Dery menggeleng tak setuju, kemudian mencengkeram kasar lengan Jingga. "Nggak bisa seperti itu, Jingga bersalah, dia memang harus dihukum, tapi dia juga tetap harus minta maaf!"

"Ayo minta maaf! Cepat!" titah Dery dengan kilat mata yang menyorot marah pada Jingga.

Jingga terdiam menatap Hanna dengan rasa kesal yang sudah begitu membumbung penuh dalam dadanya. Tidak, ia tidak sudi meminta maaf pada orang licik seperti Hanna.

"Jingga! Jangan sampai buat papa makin marah!" bentak Dery, yang mengguncangkan cengkeramannya untuk menyadarkan Jingga agar segera melakukan perintahnya; meminta maaf pada Hanna.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang