34π • LuJ

17 13 2
                                    

Bab 34
-Perjanjian-

π

"Lo udah dateng?"

"Jingga!"

Sebuah tepukan cukup keras di bahunya, sukses membuat gadis itu kembali pada kesadaran sepenuhnya, menyadari situasi yang sebenarnya ada di depan mata.

Semua itu khayalan gue? Sampe sejauh itu?

Pasti otak gue mulai konslet!

Ia menatap sekeliling dengan tergesa, memastikan bahwa semuanya aman terkendali. Dan masih hanya ada mereka berdua di atas rooftop sekolah, dengan hanya angin yang bertiup kencang hingga membuat helai rambut bergoyang.

Sekarang Jingga bisa bernapas lega, semua khayalan menakutkan itu tidak terjadi. Berandai-andai jika seseorang tak pernah hidup, ternyata hampir mencuci otaknya untuk mengakhiri hidup orang lain. Beruntung ia tak melakukannya, dan apa yang ia pikirkan, hanya berhenti di pikirannya. Huh, amit-amit kalau nyata!

Meski itu tak mengubah kenyataan bahwa memang Hanna telah menghancurkan sebagian hidupnya, membuat semua rencana yang seharusnya berjalan baik, sekarang hancur berantakan.

"Kenapa lo minta gue ke sini?"

Gadis itu, Hanna menyandarkan tubuhnya pada dinding pembatas, lalu bersidekap dada dengan menatap lurus Jingga. "Gue udah bilang kalo gue punya penawaran bagus 'kan?"

Jingga memutar bola matanya malas. "Nggak usah basa-basi, langsung intinya."

Sebuah senyum terulas di bibir Hanna, menyulitkan Jingga mengetahui apa maksud dari senyuman itu. Karena ia tahu tak pernah ada sebuah ketulusan di sana.

"Pouch navy, yang ada logo inisial "L", ada sama lo 'kan?" Jingga terdiam tak membalas pertanyaan itu segera, ia hanya membulatkan matanya sebagai reaksi terkejutnya, tentang bagaimana Hanna bisa mengetahuinya.

Hanna terkekeh singkat. "Dari tatapan lo, gue yakin tebakan gue seratus persen bener."

Jingga terdiam dalam raut menerka, disertai ketidak -sukaan yang tersorot dari tatapan matanya. Bertanya-tanya apakah Langit yang memberitahukan keberadaan pouch itu pada Hanna?

"Lo nggak usah ngelak lagi, pouch itu pasti ada sama lo. Gue liat sendiri waktu ke rumah lo, lo pegang pouch itu," ujar Hanna santai, dengan pernyataan yang membuat alasan itu akhirnya terungkap. Jingga baru mengingat saat ia menemukan pouch itu, Hanna secara kebetulan memang datang ke rumahnya.

Tak segera mengiyakan permintaan Hanna, Jingga terlebih dahulu menodong penawaran yang dijanjikan.

Jingga mengangkat sebelah alisnya, setelah melipat tangannya di depan dada. "Apa untungnya buat gue kalau gue kasih pouch itu?"

Gadis dengan rambut cokelat terurai yang terombang ambing oleh angin itu nampak berdeham, memutar-mutar bola matanya pertanda berpikir.

"Lo boleh ambil peran gue jadi pemeran utama di drama, gimana?" tawar Hanna akhirnya.

Kedua alis Jingga bertaut. "Itu aja?"

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang