42π • LUJ

21 2 7
                                    

Bab 42
-Gift-

π

Tak terhitung sudah berapa kali cowok itu mondar mandir di dalam ruang kepala sekolah yang kosong dengan rasa gelisah yang tak urung. Ada sebuah pilihan yang membuat pikirannya terganggu sejak kemarin. Pilihan yang menjadi alasan ia terus-menerus menolong gadis itu, yang bahkan sama sekali bukan urusan.

Ini semakin sulit, disaat logika dan perasannya mengadu kekuatan dalam diri, membuat ia susah memutuskan mana yang lebih dominan. Mengikuti kata hati, atau logika yang telah tertanam sejak kali pertama ditunjuk untuk misi pencarian.

"Arrgghh!"

Pada akhirnya ia mengerang kesal sendiri, berhenti melangkah, mengusap wajahnya kasar kemudian mengacak rambut frustasi.

"Gue kenapa sih? Sejak kapan gue peduli sama perasaan orang lain? Sejak kapan gue mikirin penderitaan orang lain? Ini salah, seharusnya waktu gue dapet barang itu langsung gue kasih ke pak Herman."

Ia terus bermonolog. Merasa keputusannya ini tak benar, tapi terlalu berat untuk menyerahkan barang itu sesuai dengan perjanjian awal. Tapi, bagaimana pun, Herman sudah banyak membantu hidupnya sejak ia menjadi yatim piatu. Apa pantas mengkhianatinya?

Tangannya mengeluarkan sesuatu dari saku celana panjangnya, sebuah barang yang membuatnya tak bisa berhenti berpikir tentang kepada siapa ia akan memberikannya. Entah pada Herman atau mengembalikannya pada Jingga; pemilik aslinya.

Ia menatap lamat barang itu dalam genggamannya, kembali dibebankan oleh keraguan. Karena tiba-tiba saja ia teringat bagaimana Jingga memohon untuk mengembalikan barangnya.

"Gue udah nggak sanggup lagi, gue mau semuanya selesai gue mohon Fajar ...."

Tatapan nanar yang merendahkan diri untuk terus memohon, selalu saja mengganggu ketegasan hatinya.

Tapi, apa gapapa kalo gue nggak balikin? Apa bakal ada hal buruk lain buat lo?

Gue nggak tau, yang mana keputusan paling bener. Tapi, gue nggak tega liat lo sedih. Gue bingung, Jingga.

"Itu kan pouch Lucas!"

Mendengar seruan itu sontak membuat Fajar terbeliak panik dan segera menyembunyikan pouch itu kembali ke dalam sakunya.

Karena terlalu banyak suara dikepalanya membuat ia tak menyadari seseorang telah masuk ke dalam ruangan yang sama. Itu jelas bukan sang pemilik ruangan yang memintanya bertemu di sini, tapi sosok lain,

"Hanna? Lo ngapain di sini?"

Gadis itu berjalan mendekat. "Gue mau ketemu papa, pintunya nggak ditutup rapet, gue kira papa ada di sini."

Hanna memicing penuh curiga. "Harusnya gue yang tanya, ngapain lo di ruang kepsek? Kan aturannya, nggak ada yang boleh deketin ruang ini. Dan ... " ia mempersempit jarak pada Fajar yang menatapnya datar. "Gimana caranya lo bisa masuk?"

Enggan menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang terus bergulir padanya, Fajar hanya bungkam dan memilih untuk beranjak dari tempatnya, berniat meninggalkan Hanna sendiri sebelum akhirnya gadis itu mencoba menarik lengannya.

Fajar menatap sengit kali ini, jujur saja, ia tak suka pada Hanna. "Apa?"

Karena cowok itu yang tak berminat memutar kembali tubuhnya untuk menghadap Hanna, Hanna-lah yang berinisiatif untuk melangkah agar berhadapan langsung dengannya.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang