22π • LuJ

24 13 20
                                    

Bab 22
-Second-

π

"Lo ngapain di sini?"

Cepat-cepat Jingga menyembunyikan pouch tersebut di laci dekatnya. Kemudian melangkah mendekat dengan tatapan tak suka pada orang yang datang ke dalam rumahnya dan berniat masuk ke kamarnya tanpa permisi.

"Lo tau etika nggak? Jangan masuk ke rumah orang sebelum diijinin sama yang punya rumah!" kecamnya.

"Maaf Jingga, gue udah pencet bel, ketuk pintunya berkali-kali tapi nggak ada yang nyaut. Pintunya juga nggak dikunci, jadi gue masuk terus—"

"Nggak ada hak sama sekali lo nyelonong masuk rumah orang, sekalipun nggak ada yang nyaut atau pintunya nggak dikunci!" Potong Jingga cepat, dia sudah sangat muak melihat gadis di depannya sekarang, akan lebih memuakkan jika harus mendengar alasan tak masuk akal dari mulutnya.

"Kecuali, lo mau maling," tambahnya sambil bersidekap dada menatap Hanna tajam.

Hanna menggeleng kuat. "Mana mungkin gue mau maling? Gue masih mampu kok beli barang yang ada di sini," katanya sambil mengedarkan pandang di kamar Jingga.

"Maling 'kan nggak cuma tentang barang. Gue tau lo licik, pasti lo mau maling informasi tentang gue 'kan?" tuduh Jingga seraya melayangkan jari telunjuknya pada Hanna dengan mengintimidasi. "Apa lagi yang lo rencanakan kali ini, hah?"

"Kenapa lo berprasangka buruk terus, sih sama gue? Gue kesini cuma mau ngajak lo berangkat sekolah bareng aja kok," jelas Hanna.

Jingga tertawa sinis, mengalihkan pandangan ke arah lain. "Alibi yang sangat tidak masuk akal."

Hanna menarik lengan Jingga tiba-tiba, menggenggamnya lalu menatap gadis itu dengan tatapan lemahnya. Tentu saja Jingga terkejut dan berusaha menarik kembali tangannya namun Hanna menahannya.

"Gue nggak tau kenapa lo kayak benci banget sama gue, gue cuma mau bertemen aja sama lo. Temenan sama sahabatnya pacar gue," katanya.

Setelah Hanna menyelesaikan kalimatnya, Jingga menghempas kasar lengan Hanna yang menggenggamnya. "Nggak usah drama."

Hanna menggeleng. "Gue serius. Gue mau baikan sama lo, temenan sama lo. Bisa 'kan?"

"Nggak."

"Kalo minta maaf tentang yang kemarin bisa bikin kita baikan, gue minta maaf, Jingga."

Jujur saja, Jingga tidak mengerti apa yang ada di pikiran Hanna saat ini. Tiba-tiba saja dia datang pagi-pagi kerumahnya, menyelonong masuk mengaku ingin berteman.

Apa yang membentur kepalanya hingga belum ada dua puluh empat jam bercekcok, gadis itu kini berusaha berbuat baik padanya. Apa pun itu, Jingga tidak akan pernah memercayai gadis picik seperti Hanna.

"Nggak usah manipulatif kayak gitu, ya. Lo tuh wajib minta maaf sama gue, karna emang lo yang salah!" ketus Jingga sambil mendorong kasar bahu Hanna dengan telunjuknya.

Tak tahan lagi untuk menampung Hanna walau beberapa menit lagi di rumahnya, Jingga menarik kasar lengan mulus gadis itu keluar dari kamarnya, menyeretnya—mengusirnya keluar dari kawasan rumahnya.

"Jingga tung—"

Jingga menghempaskan pintu setelah berhasil mengeluarkan Hanna dari rumahnya. Setelahnya dia tak mendengar lagi suara Hanna, lantas menghembuskan napasnya kasar lalu menggenapkan langkahnya kembali ke kamar.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang