31π • LuJ

28 13 7
                                    

Bab 31
-Leave?-

π

Warning!

Disarankan baca part ini kalau lagi nggak buru-buru ya! Kudu lagi enjoy banget ini mah, biar makin berasa gitu feel-nya ashoy.
><Okray cekidot Happy reading!><

π

Nomor yang anda tuju tidak menjawab, silahkan hubungi sesaat lagi.

"Arghh! Lo kemana, sih Jigong?"

Erangan itu keluar dari mulut laki-laki yang kini mengacak rambutnya frustasi. Sudah puluhan kali ia mencoba menghubungi nomor yang sama namun tak kunjung mendapat jawaban.

Ia juga sudah bertanya kepada kedua teman Jingga, namun mereka tidak mengetahui dimana keberadaan gadis itu. Dan satu-satunya cara yang belum ia coba adalah mendatangi rumah Jingga, dan menghadapi papanya yang begitu menentang pertemanannya.

Tapi mau bagaimana lagi, ia terlalu khawatir dengan gadis itu. Lantas Langit menekan rasa ragunya dan melangkah bergegas ke rumah seberang mencari Jingga.

Langit menghembuskan napasnya singkat, sebelum memutuskan menekan bel rumah yang berada di dinding gerbang.

Ting tong!

Kali pertama tak ada sahutan, hingga yang kedua kalinya seseorang menyahut dari dalam.

"Iya tunggu!"

Seruan itu diikuti kehadiran seseorang yang membuka pintu, beberapa saat setelahnya. "Kamu? Mau ngapain kamu kesini?" tanya wanita paruh baya yang Jingga sebut mama.

"Saya mau ketemu Jingga, Tan. Jingga ada di rumah 'kan?" sambar Langit cepat, yang kemudian mengumbar tanya balik.

"Jingga lagi dihukum papanya, nggak boleh ketemu siapa pun termasuk kamu. Jadi silahkan pulang," Sintya—mama Jingga, mengarahkan tangannya ke rumah di seberang sana. "Nggak perlu saya antar 'kan?"

Langit menggeleng. "Justru itu, Jingga dihukum pasti karena om Dery belum dengerin Jingga. Saya emang nggak bisa bikin om sama tante percaya, tapi seenggaknya ijinin saya ketemu Jingga buat nenangin dia, sebentar aja tan."

Wanita itu menghembuskan kasar napasnya, mulai merasa jengah setelah Langit menentang kalimat pengusirannya. "Kamu nggak usah sok-sok nenangin anak saya. Saya ibunya, saya yang lebih ngerti anak saya!"

"Kalo gitu, apa tante tau semua hal buruk yang Jingga laluin selama ini?" ujar Langit dengan sarkasme yang seketika membuat Sintya terdiam, kehilangan kata-kata pembelaan dalam sekejap.

Dengan raut wajah datar juga sorot mata tajam menatap tak suka, tangan Sintya kembali terangkat untuk menunjuk ke arah rumah yang Langit tinggali bersama bunda dan adiknya, kemudian berkata, "saya minta kamu pergi. Sekarang."

Langit terpejam dengan menghirup udara sejenak, mencoba menurunkan egonya untuk terus berkeras kepala.

"Oke, saya pergi. Tapi tolong inget tan, kalau sesuatu terjadi sama Jingga, jangan pernah salahin orang lain. Saya pikir ada baiknya instrospeksi," ujar Langit yang sama kesalnya.

Sintya sontak membulatkan matanya atas apa yang Langit katakan padanya. "Kamu mau mengancam saya?! Ngedoain anak saya kenapa-kenapa?!"

Langit menggelengkan kepalanya singkat. "Terserah tante mau menganggapnya apa. Saya mau pamit sekarang," ucapnya segera menyudahi percakapan yang membuat naik pitam. Tak lupa tetap mencium tangan Sintya sebagai bentuk menghargainya, sebelum ia berbalik dan mengambil langkah menjauh dari kawasan rumah Jingga.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang