44π • LUJ

23 1 0
                                    

Bab 44
-Sister-

π

Di atas motor sederhana milik si pembonceng, hanya hening yang mengitari atmosfer sekitar keduanya. Tak ada kalimat basa-basi maupun lelucon seperti biasa, hanya membiarkan bising jalanan menghantam telinga. Sosok ceria sepertinya, kini terlalu lelah untuk menutupi beban pikirannya, ia hanya memandang jalanan di depan, tetap berusaha fokus meski isi kepalanya berantakan.

Gadis itu, Jingga yang biasa memerhatikan tepi jalan, kini perhatiannya terdistraksi pada cowok yang duduk di depannya. Ia terus menatap punggung Langit, ia tahu banyak beban di sana yang cowok itu coba pikul sendirian selama ini.

Setelah berpikir masak-masak, ia akhirnya memutuskan merengkuh tubuh Langit dari belakang, memeluk kerapuhan itu. Dengan harap, Langit bisa berbagi perasaan sedih yang dia rasakan padanya.

Merasakan Jingga memeluknya erat tiba-tiba, Langit sontak reflek menoleh sekilas. Ia merasa bahwa ini tak biasa, Jingga bukan tipe gadis yang suka memeluk ketika dibonceng. Bahkan seringkali ia yang harus memaksa gadis itu untuk memeluknya, sampai menggunakan cara licik dengan sengaja kebut-kebutan di jalan.

Beberapa saat akhirnya Langit menepikan motornya, setelah mencari tempat yang tak banyak khalayak. Namun Jingga tak melepas pelukannya, bahkan hanya untuk bertanya mengenai alasan cowok itu tak melanjutkan perjalanan.

"Lo kenapa Jigong?" tanya Langit lemah, ia sedang tak berselera.

Jingga menggeleng kecil dalam dekapan yang ia buat sendiri.

"Lo ada masalah?" tanya Langit, lagi. Dan Jingga kembali menggeleng. "Terus kenapa?"

"Kenapa sih selalu gue yang lo tanya ada masalah atau enggak? Padahal lo sendiri juga punya masalah? Kenapa peduliin masalah orang lain, sementara lo belum bisa selesaiin masalah lo sendiri?"

Rasanya tepat sasaran, semua kata-kata Jingga sepenuhnya benar. Tapi mengapa malah Jingga yang seperti ini? Bukankah seharusnya Langit yang mengeluh?

Langit menghela napasnya. "Jigong gue lanjutin jalannya ya?"

"Kenapa sih gue selalu nggak tau apa-apa tentang lo. Seluruh hidup gue dari awal, lo tau. Tapi gue? Gue nggak tau satu pun tentang lo, gue ngerasa ... gue nggak kenal lo. Emangnya gue nggak bisa lo percaya ya?"

Langit berusaha melepaskan lengan Jingga yang melingkar di perutnya dengan erat, namun gadis itu dengan kuat menahannya. "Enggak gitu, gue cuma nggak mau nambah beban lagi buat lo. Gue tau buat sampe di titik ini nggak gampang."

"Tapi gue gamau gini!" Sungut Jingga. "Seengganya lo bagi beban lo dengan cerita ke gue. Kalo begini, gue ngerasa nggak berguna buat lo. Soal lo punya mama dua aja gue nggak tau. Padahal kan, kita sahabatan lama, tetanggaan pula."

"Jigong ... nggak semua hal lo harus tau. Gue bakal cerita kalo gue mau, tapi nggak sekarang," jawabnya dengan lembut.

"Terus kapan? Sampe akhirnya gue yang tau sendiri kayak sekarang?"

Pertanyaan itu membuat Langit bungkam, dan akhirnya hanya ada satu patah kata yang keluar dari mulutnya. "Maaf."

"Enggak! Bukan lo yang harus minta maaf, tapi gue. Gue selalu ngerasa jadi orang paling banyak masalah tanpa tau kalo lo juga punya masalah, dan gue terus-terusan ngeluh. Gue lemah banget, Lang."

Langit tak kembali membahas apa yang Jingga berusaha katakan. Ia mengalihkan dengan pertanyaan lain. "Lo mau kayak gini terus?"

"Apa?"

"Meluk gue."

"He-em," gumamnya sambil mengangguk. Membuat Langit tersenyum gemas.

"Mau sampe kapan?"

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang