14π • LuJ

34 13 31
                                    

Bab 14
-Alasan-

π

Hampir setengah jam gadis dengan rambut diikat separuh itu duduk di sini, di ruang konseling sekolah, berhadapan langsung dengan Bu Neni untuk meminta penjelasan.

Kesabaran itu rasanya sudah mencapai batasnya. Yang bermula dia bisa membicarakannya perlahan dengan tenang, kini mulai kehilangan kestabilan dalam mengatur emosi.

"Kamu tenang dulu, hasilnya pasti diumumin sebentar lagi, Jingga."

Berkelit. Lagi-lagi Bu Neni tidak mau berterus terang dengan alasan sesungguhnya. Alasan mengapa hasil tryout tidak menyentuh ujungnya sampai detik ini.

Ini bukan kali pertama Jingga melakukan ujian di sekolah ini, dan yang kali ini terlalu dramatis. Semenjak pergantian kepala sekolah dengan beberapa kebijakan baru, semuanya seolah disembunyikan. Sekolah tidak terbuka sama sekali kepada murid-muridnya.

Biasanya hasil tryout akan keluar seminggu setelah ujian, tapi ini sudah dua Minggu lebih tanpa kejelasan. Dan jelas menimbulkan tanda tanya besar bagi Jingga, apalagi hasilnya mempertaruhkan nasibnya dengan hukuman papa, juga tentang tantangan Hanna hari itu.

"Saya nggak tahu ibu disuruh tutup mulut sama kepala sekolah atau apa, tapi kalau ibu nggak mau kasih tau, itu nggak bikin saya berhenti buat cari tau sendiri."

Bu Neni menghela napasnya panjang, raut wajahnya sudah lelah untuk menyangkal setiap kalimat Jingga sejak setengah jam lalu. "Ibu penasaran, kenapa hasil tryout ini seolah penting banget buat kamu? Padahal ini bukan ujian besar seperti ujian semester atau ujian nasional yang menentukan kedepannya."

"Ada beberapa hal yang dianggap sepele, tapi penting buat orang tertentu," ada jeda untuk Jingga menatap lebih tegas Bu Neni, "dan hasil tryout yang ibu sepelekan ini penting buat hidup saya, Bu."

Jingga bangkit dari tempat duduknya, merasakan kebas pada bokongnya yang mulai terasa ketika berdiri. Dia menatap keliling seisi ruang konseling, dan berakhir pada Bu Neni yang masih duduk di tempatnya dengan raut penuh keraguan.

"Saya juga penasaran, apa yang ibu dapat dari kepala sekolah buat bungkam atas pertanyaan-pertanyaan yang semua murid tanyakan terkait sekolah mereka sendiri." Mendengar celetukan Jingga membuat Bu Neni kontan menoleh pada Jingga dengan terkejut.

Jingga tertawa sinis. "Awalnya saya respect sama ibu. Tapi kayaknya semua guru di sini udah nggak ada yang bisa dipercaya lagi. Semua itu karna hadiah."

"Saya pamit ke kelas bu, udah cukup setengah jam saya sia-sia untuk ngeluarin hak imun."

"Permisi," ujarnya disertai senyuman paksa sebelum akhirnya menyegerakan diri meninggalkan ruangan.

Sepanjang koridor yang Jingga lewati, sepi dari khalayak. Masih ada satu jam pelajaran lagi untuk bel istirahat berdentang ke seluruh penjuru sekolah. Namun alih-alih bergegas mencapai kelas, Jingga memilih untuk berhenti di depan mading utama.

Di bangku panjang depan mading, Jingga memutuskan untuk duduk sejenak di sana. Matanya menatap lurus pada mading yang sampai saat ini belum tersentuh oleh pengumuman yang Jingga tunggu-tunggu.

Drrtt

Benda pipih dalam saku rok Jingga bergetar tiba-tiba. Karena kesenggangan waktu, tak butuh banyak berpikir Jingga segera membuka notifikasi pesan di ponselnya.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang