16π • LuJ

31 13 3
                                    

Bab 16
-Pria-

π

Jemari lentik miliknya menarik laci untuk merogoh earphone yang dia cari. Setelah mendapatkannya dengan kondisi kusut seperti biasanya, gadis itu merapikan kabelnya lalu menyambungkannya dengan ponsel miliknya. Lantas menyalakan musik klasik yang cukup menenangkannya selama waktu belajar.

Dia mulai berkutat dengan pena serta tumpukan buku yang dia susun untuk memudahkan urutan pelajaran yang akan dia pelajari terlebih dahulu.

Beberapa menit berlalu dan semua berjalan baik, tak ada kendala. Tapi entah pikiran dari mana, tiba-tiba dia teringat oleh omongan ibu warung tadi siang. Seketika dia menghentikan kegiatannya untuk melamun sejenak, mengulas kembali mengenai apa yang berkaitan dengan Fajar.

Dia menghela napas. Rasanya tak ada yang janggal sama sekali mengenai cowok itu. Fajar bersikap baik, dan selalu berkata manis yang membuat Jingga tak berhenti berdebar kencang.

Masa, sih Fajar boong?

Diluar dari kecurigaan yang berusaha Jingga cari dalam pikirannya, Jingga merasa merasa senang dengan apa yang terjadi padanya tentang Fajar. Seolah semesta menginginkan Jingga jadi pemenang di antara banyaknya fans laki-laki itu. Secara tiba-tiba saja mereka sedekat itu setelah lebih dari dua tahun hanya Jingga saja yang mengagumi dalam diam.

Dia tersenyum memikirkannya, mengingat bagaimana dia diperlakukan manis dengan sosok idola di sekolahnya.

Rambutnya yang diacak-acak, hatinya yang berantakan.

Belum lagi perihal senyum manis yang meluluhkan, dan ketika Fajar menatapnya dari jarak dekat.

Jingga menutup wajahnya malu-malu, menahan erangan gemas yang hendak keluar ketika memikirkan semua hal yang Fajar lakukan padanya.

Semua itu seperti mimpi para penggemar atas idolanya yang menjadi nyata!

"Kalo gue bilang lo cantik banget, penting nggak?"

Bayangan indah tentang Fajar buyar seketika. Suara Langit ketika memujinya tadi siang tiba-tiba saja menyela pikirannya.

Dia menghembuskan kasar napasnya melalui mulut, mengusap wajahnya untuk menyadarkan diri atas keputusannya tempo lalu. Keputusan mengenai melupakan perasaannya pada Langit.

Suara dering telepon menyita seluruh bayang-bayang pikirannya, menghentikan sejenak musik klasik yang sedang diputar. Lantas segera saja membuka layar ponselnya untuk melihat siapa pelakunya.

Jingga merapikan rambut cepolnya, bersiap menunjukkan wajah pura-pura kesal ketika mengangkat video call tersebut.

"Apa?" Sambarnya ketus.

"Gue lagi makan nih, lo udah makan?"

Jingga mengangguk sekilas. "Gue lagi belajar nih, lo udah belajar?"

"Apa itu belajar?" katanya seraya mengunyah camilan.

Helaan napas itu lolos dengan kasar. "Katanya mau masuk fk, mau masuk univ yang bagus, belajar!"

"Hahaha, iya nanti."

"Nanti kapan?"

"Nanti kalo inget, ahahahaohkkk ohkk."

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang