32π • LuJ

15 13 2
                                    

Bab 32
-pemilik pouch-

π

Kedua mata gadis itu terbuka perlahan, mulai menatap sekeliling ruangan yang begitu terasa tak asing dalam pandangannya. Ia mengerjap-ngerjap melihat interior kamar penuh dengan nuansa abu. Lalu pelan-pelan bangkit untuk duduk sembari mengumpulkan nyawa.

Jingga menguap seraya menutup mulutnya. "Hoam, ini gue di kamar Langit?"

Gadis itu mulai bangkit kembali untuk berdiri dan melihat-lihat seisi kamar selagi pemiliknya entah kemana. Toh, selama ia mampir, Langit selalu saja melarangnya untuk memasuki area kamar selain disuruh bunda mengejutkan laki-laki itu dari tidur lelapnya. Hanya sedikit penasaran mengenai hal-hal kecil tentang Langit di sana.

Pandangannya jelas tertuju pada meja belajar dengan warna khas kayu, di mana terdapat sebuah bingkai foto yang dipajang di sana.

Jemari gadis itu mencoba meraih bingkai tersebut tanpa menimbulkan suara, menatap kedua orang yang berada dalam foto di bingkai tersebut.

Itu adalah gambar dirinya dan Langit!

Sebuah senyum sabit terukir di bibirnya, menatap betapa bahagia Langit di dalam gambar itu. Jika dideskripsikan, dalam foto itu Jingga nampak belum siap difoto, bahkan sedang dalam raut kesal akibat tingkah usil Langit menarik rambut kuncir kudanya.

Namun seketika, senyumnya memudar. Mengingat bahwa sebab dirinya, Langit hampir kehilangan tawa riangnya. Hanya karena membantunya menyelesaikan masalah yang tidak ada sangkut pautnya, ia sudah merenggut senyum laki-laki itu. Ia jahat bukan? Dan ia merasa bersalah akan hal itu.

Jingga meletakkan kembali bingkai itu di tempatnya semula. Namun, pandangannya kembali terdistraksi ketika menaruh bingkai tadi. Sebab tak jauh dari tempat bingkai itu berada, ada sebuah bingkai lain yang tak dipajang, melainkan hanya dibiarkan menelungkup tak terlihat isinya.

Apa itu foto Hanna? Makanya pas putus langsung ditutupin?

Dengan penuh rasa penasaran yang merajai dirinya, Jingga mengambil bingkai itu dengan hati-hati. Membalikan bingkai itu, membiarkan foto dalam bingkai tersebut terpampang oleh penglihatannya.

Bukan, itu bukan Hanna. Namun sukses membuat Jingga jauh lebih merasa penasaran.

Gadis itu mengernyit ketika menatap sosok dalam foto itu dengan lamat-lamat. Semakin lama, semakin dalam, semakin ia mengenali sosok itu, sosok itu nampak tak asing dalam ingatannya.

Hingga ketika tiba-tiba saja dalam memorinya terputar sedikit kilasan, dan membuatnya terbayang oleh sebuah sosok, Jingga kontan terbeliak kaget. Tatapan yang semula bertanya-tanya, kini berganti seolah tak percaya dengan fakta yang dia dapat dari spekulasinya.

"Tolong saya!"

"Sosok itu ..." Jingga menggantung kalimatnya sendiri dengan keraguan.

"Papanya Langit!?" pekiknya tertahan.

Ini sulit dipercaya, entah benar atau salah, tapi semuanya kini menjadi semakin jelas. Semuanya menjadi masuk akal sekarang.

Jingga meletakkan kembali bingkai itu di atas meja, lalu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.

"Jadi selama ini, orang yang gue cari itu —Langit?"

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang