2π • LuJ

100 14 70
                                    

Bab 2
-Kandidat-

π

Suara hentakan langkah terdengar di sebuah koridor di mana ruang kepala sekolah, ruang guru, serta ruang BK berjajar di sana. Pemilik sepatu boots hitam yang membuat sumber suara tersebut mendekati ruang kepala sekolah dengan langkah ringan.

Membuka pintu ruang tersebut tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Sepertinya dia memiliki nyali tinggi, atau mungkin dia salah satu kenalan sang kepsek yang tak bisa sembarang orang menyentuhnya.

"Papa nggak pernah mengajarkan kamu tidak sopan seperti itu ya!"

Mendengarnya tak membuat gadis itu patuh dalam sesaat, melainkan hanya mendelik kesal dan melanjutkan langkahnya berhadapan dengan pria berumur setengah abad yang tengah duduk di kursi besar dengan kalep mahal yang melapisinya.

Tertera papan nama beliau yang terpahat dengan lapisan emas di atas meja. Gadis itu duduk persis di hadapan pria yang menatapnya lelah.

"Udah milikin bangunannya, masih juga butuh jabatannya di sini. Gila harta." Si gadis terkekeh dengan sinis. Memainkan papan nama tersebut dengan tangannya, membuat pria yang mengaku sebagai papanya itu mulai was-was.

"Kalau kamu benci papa, nggak mungkin kamu sampai detik ini pakai fasilitas dari papa. Apalagi kamu mau pindah di sekolah milik papa." Terlihat senyum ledekan yang tertuju pada gadis itu.

Gadis dengan badge name 'Hanna Kaila Humeera' itu membalas dengan senyuman ramah palsunya.

"Seumur hidup papa, papa selalu merugikan orang lain. Sesekali bermanfaat buat anaknya bukan jadi masalah 'kan?"

Papan nama itu ia kembali ke tempat asalnya. Sedangkan papanya memalingkan wajah sementara kedua tangannya menyibukan diri dengan beberapa berkas yang berserak di mejanya.

"Aku minta predikat Bintang Cakrawala papa kasih buat aku," ujar Hanna enteng. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, tanpa memohon, matanya menatap dengan datar.

Herman terinterupsi. Pandangannya teralihkan cepat untuk memberi sorotan terkejut pada anak tunggalnya. "Tahu dari mana kamu itu semua?"

Hanna tertawa samar. "Nggak penting tahu dari mana. Intinya aku mau predikat itu. Toh, prestasi di sekolah aku dulu juga cukup buat jadi syaratnya."

"Tapi itu nggak adil."

"Sejak kapan papa tahu di dunia ini ada keadilan?"

"Han—"

"Aku nggak peduli gimana caranya, bahkan kalau harus curang sekali pun, aku mau papa pastiin predikat dan hadiah utamanya itu buat aku, titik!"

Herman menghela napasnya gusar, dia memijat pelipisnya yang pening. "Tapi nggak bisa langsung kamu yang menang, papa akan jadikan kamu kandidatnya dulu."

"Terserah, yang penting harus aku yang menang akhirnya." Hanna mengangkat bahunya tak peduli, acuh pada hak orang lain.

Herman kembali menyibukan dirinya, tak ingin berlama-lama berbincang dengan anaknya yang selalu membuat masalah.

"Kalau kamu mau sekolah di sini, kamu harus ikut aturan. Penampilan seperti kamu tidak memenuhi syarat sebagai anak pelajar," ujar Herman dingin.

Hanna memutar bola matanya, kemudian menghela napas kasar. Setelahnya, tangannya tergerak menyentuh kepala, mencabut beberapa rambut sambung berwarna rose gold kemudian membuangnya asal.

"Puas?"

"Make up."

"Oke!"

Ia beranjak dari tempat duduknya. Lalu berbalik bersiap melangkah meninggalkan singgasana orang 'kotor' yang dia kenal. Memuakkan.

Langit Untuk JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang