28 September 2021
•••
"Astaga, maafin Mamah ya, Brendon. Kamu jadi masak sendiri," kata sang ibu, Brendon yang tengah sarapan mendongak dan menemukan kedua orang tuanya baru bangun. Berbeda dengan wajah khawatir dan merasa bersalah ibunya, ayahnya tampak biasa saja.
"Ah, udah gak papa, Brendon udah dewasa dan liat, dia masak sendiri. Buat Papah Mamah mana nih?" tanya sang ayah mengangkat sebelah alis.
Kepala Brendon menoleh ke belakang sekilas, seakan memberitahukan jika masih ada sisa untuk mereka. Sang ayah bertepuk tangan sekali dengan bangga.
"Asyek, mantap putraku ini."
"Ish, kamu!" Ibunya kesal bukan main, memukul bahu suaminya itu. "Gara-gara kamu nih, menyebalkan! Kasihan Brendon."
Sang ayah berdecak. "Udah, Sayang. Dia udah dewasa kan kubilang? Dia paham kok." Brendon tampak cuek dengan percakapan orang tuanya itu, meski sekilas ia lihat sang ayah menciumi pasangannya lagi meski ibunya enggan karena kesal. "Jangan ngambek lagi, dong. Entar kumakan lagi nih!"
Brendon menggeleng miris, dasar pasangan itu. Makannya jadi tidak enak karena perasaan menyebalkan mengingat maksud percakapan itu, tetapi syukurlah makanannya habis. Brendon berdiri dari duduknya.
"Mah, Pah, aku berangkat ke kampus dulu."
"Lho, Brendy, kamu gak istirahat aja dulu huh? Kemarin itu kita baru acara nikahan kakak kamu, lho." Sang ayah berusaha menghalangi anaknya.
Brendon mengerutkan kening. "Enggak, Kakak yang harusnya sibuk, kan? Bukan aku." Ayahnya mendengkus karena jawaban datar itu.
Namun saat ingin pergi, suara lain terdengar memasuki ruangan itu.
"Papah, Mamah!" sapa suara yang dikenali mereka, siapa sangka ada Matteo dan istrinya mulai memasuki dapur. Wajah orang tua Brendon dan Matteo tampak bahagia meski Brendon, seperti biasa, datar.
"Eh, anak dan mantu tersayang!" sapa ayah mereka bahagia. "Waduh, kenapa kalian ke sini nih? Gak nikmatin masa berdua aja huh?"
"Gak papa, Mah, Pah. Kangen aja." Brendon mau tak mau diam karena kehadiran kakaknya sejenak. "Halo, Adekku yang Triplek!" Matteo menyapa sambil mengusap kepala Brendon yang beberapa inci lebih tinggi darinya.
Brendon hanya menghela napas.
"Pah, Mah." Istri Matteo tampak menyapa mereka. "Hai, Brendon."
"Hai juga, Kak." Brendon menyapa balik.
"Aduh, baru sehari udah kangen aja, ya." Ibu mereka tertawa begitupun yang lain, pengecualian lagi Brendon.
"Kangennya kapan-kapan aja harusnya, kan kalian pengantin baru, harusnya seharian di kamar aja sambil uhuk ehek uhuk." Ayah mereka menatap jorok sambil menaikturunkan alis, dan istrinya langsung memukul sebal.
Dirasa percakapan mulai tidak berguna dan menyebalkan, serta waktu ke kampus mepet, Brendon mendengkus pelan. "Pah, Mah, Kak Matteo, Kak Dian, aku mau berangkat ke kampus dulu. Dah!"
"Eh, Brendon!" Ayahnya mencoba menghalangi tetapi langkah Brendon cepat berbalik dan tampak tak berniat menoleh sama sekali. "Tu anak! Serius terus! Gak ada hiburannya sama sekali deh."
Brendon berjalan keluar dari rumah, ia menuju ke salah satu motor yang terparkir di sana, hanya motor biasa sebelum akhirnya menjalankannya ke kampus tempat ia belajar. Tak butuh waktu lama sampai, Brendon memakirkan ke tempat khusus kendaraan bermotor, dan baru melepaskan helm serta turun sudah ada suara menyeletuk.
"Lho, Bren, lo ke kampus?" tanya seorang perempuan, ia tak sendiri tetapi bersama dua perempuan lain di sana.
Brendon menghela napas, menatap datar perempuan itu. "Yang nikah siapa?"
"Kakak lo, kan? Lo gak libur aja gitu?" tanya cewek lain.
Harusnya mereka paham, Brendon jelas tak ada hubungannya dengan kakaknya itu. Yang menikah kakaknya, yang pastilah sibuk di malam pertama kakaknya, dan paling wajar jelas merekalah yang libur bekerja. Brendon memang sang adik, tetapi andil Brendon apa? Jelas tidak ada. Untuk apa liburan?
Brendon tak menjawab, malas, ia ingin segera ke habitatnya yaitu kelas pagi yang tak ingin ia tinggalkan. Ia mahasiswa semester 5 yang termasuk cerdas, dan tak mau membuang waktu percuma dengan hal tidak terlalu penting. Brendon sebenarnya sudah memiliki cita-cita besar menjadi guru seperti halnya Om Janus, tetapi ia sadar memiliki tanggung jawab besar pada perusahaan ayahnya sebagai pewaris nanti, sebenarnya tak masalah ia jadi apa saja yang terpenting masa depannya bisa ia jamin sesuai keinginannya.
Karena baginya, sekalipun punya privilage kekayaan dari orang tua, bukan berarti akan terus begitu jika pemanfaatannya tidak direncanakan matang-matang. Ia juga rencananya membawa perusahaan ayahnya yang bergerak di bidang industri rumah tangga untuk menjadi brand besar dan dikenal di luar negeri. Cita-cita Brendon memang sangat ia rencanakan bagaimana ia akan melaksanakannya.
Tiba-tiba, baru di ambang pintu, belum memasuki kelas, seseorang menabrak punggung Brendon. Pemuda itu tentu kaget, terlebih mendengar suara jatuh gedebuk banyak barang. Meski tak jatuh, itu cukup menyakitkan dan mengagetkan hingga spontan Brendon menoleh.
Hanya untuk menemukan seorang cewek, penampilannya begitu cupu, meski sama-sama berkacamata penampilan Brendon jauh lebih modis dan bahkan keren tetapi cewek ini bak hidup di tahun yang berbeda jauh dari sekarang.
"Maaf!" kata cewek itu sambil mengepaki barang-barangnya yang jatuh, berupa banyak buku di sana.
Brendon menghela napas seraya membantunya membereskan buku-buku itu. Meski kemudian melihat salah satu buku, Brendon terdiam.
"Mereka minta lo lagi ngerjain tugas?" tanya Brendon dengan kening mengerut, si cewek mendongak dengan wajah takut-takut karena mau dia mengelak, sudah ketahuan.
"Tolong jangan kasih tahu siapa-siapa ya, Bren. Aku mohon ... kamu kan tahu ini salah satu cara aku dapat penghasilan ...." Setelah semua buku di tangan meski satu masih di tangan Brendon, keduanya berdiri dan Brendon menyerahkan buku terakhir di tangannya lagi. "Makasih."
"Lain kali hati-hati kalau jalan." Cewek itu mengangguk.
Brendon siap beranjak tetapi ditahan cewek itu lagi.
"Kamu ngampus? Bukannya kemarin keluarga kamu ada acara nikahan?" tanyanya.
Wajah Brendon seketika sewot, kenapa sih pertanyaan ini lagi? "Yang nikah siapa?" tanyanya menahan amarah.
"Uh oh ... maaf." Sadar kesalahannya, cewek itu segera tertunduk sesal.
Melihat itu, Brendon terdiam dan merasa bersalah karena sudah memasang wajah sewot. Meski masih berekspresi datar, ada penyesalan di sana. "Udahlah lupain. Gue juga minta maaf."
Cewek itu tersenyum kecil dan keduanya pun berjalan memasuki ruang kampus, duduk berdampingan menunggu dosen mereka masuk padahal faktanya waktu jam dosen masuk masih lumayan lama. Sebenarnya, mereka termasuk paling early dan terlalu rajin.
Beberapa cewek dan cowok populer memasuki kelas dan mendekati cewek di samping Brendon itu, dan mengambil buku serta berkas mereka kemudian membayar, Brendon hanya menatapi saja tanpa reaksi apa pun dan si cewek tampak gembira mendapatkan uangnya.
"Oh ya Bren, kamu pernah pake lensa kontak gak?" tanya cewek itu tiba-tiba.
Brendon mengangguk. "Saat acara tertentu kadang make, lo mau make?"
"Rencananya sih, dan aku juga bakalan make over diri." Ternyata cewek ini sadar diri juga. "Dengan duit segini, duit utamaku juga gak bakal kegerak."
"Mm-hm ... up to you." Brendon mengeluarkan buku dari tasnya, dia malas menanggapi hal tak penting selain masa depannya sedang cewek itu, tampak memikirkan keputusannya dengan bahagia.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
SEDIA ISTRI SEBELUM KAWIN
Romance18+ Brendon Yogantara si serius menjomlo selama sembilan belas tahun bukan tanpa alasan, ia pemuda dengan pemikiran masa depan matang. Namun, ada pikiran aneh yang akhir-akhir ini mengganggunya ... pencemaran otak!