Part 20

297 39 0
                                    

9 JunI 2023

"Gimana? Kamu sudah beli cincinnya?" tanya sang ibu to the point.

Brendon mengangguk. "Sudah, Mah. Gimana keadaan Sarah?"

"Dia sudah sadar dan kondisinya membaik, persiapkan diri kamu saat nanti antar dia pulang." Brendon kembali mengangguk, begitu patuh.

"Mah, apa aku boleh ... nemuin Sarah?"

"Temui saja, tapi kontrol diri kamu, oke?" Lagi, Brendon mengangguk, dia begitu patuh bak anak kecil sekarang.

"Baik, Mah." Setelahnya, dengan agak ragu, ia melangkah menuju kamarnya di mana Sarah berada, sambil berpikiran kalut pada sesuatu yang ada di kantong dadanya.

Di sana, terdapat kotak, berisi sepasang cincin.

Bukan tanpa alasan Brendon membeli cincin, karena ungkapan ia bersama ibunya itu ....

"Aku akan tanggung jawab dengan menikahi Sarah, Mah. Aku udah mengotori gadis sepolos dia. Aku pria berengsek, aku jahat." Ibunya hanya bisa diam seraya menghela napas akan ungkapan sang anak. "Maaf ngecewain Mamah, Papah, dan kakak ... aku minta maaf."

"Baguslah kalau kamu mau bertanggung jawab, sebaiknya segera. Beli cincinnya langsung, malam ini kita segera melamar Sarah di hadapan orang tuanya." Tak ada penolakan, tetapi wajah Brendon tampak sendu.

Karena ini di luar kehendak Brendon, di luar wacana matang yang biasa terpampang di catatan dalam kamarnya. Semuanya kacau karena kebodohan pemuda itu sendiri.

Ini konsekuensinya, ini bukan hanya soal dirinya, ini soal Sarah yang dikotori bibir busuknya. Dia harus tanggung jawab.

"Tapi, kamu harus ingat, Sayang. Jangan memaksa dia, jangan memaksa hubungan kalian. Jujurlah dulu, dan biarkan keputusan di tangan Sarah."

Brendon berhenti melangkah, benar, cincin ini hanya persiapan. Meski Brendon sudah mantap bertanggung jawab, plus dia akan menata kehidupannya lagi, keputusan tetap ada di tangan Sarah. Menolak atau tidak, Brendon akan terima.

Kehidupan mereka tak akan berhenti sampai di situ, kok. Mereka masih bisa kuliah dan melakukan banyak hal meski sudah menikah. Selayaknya ayah dan ibunya.

Ini soal tanggung jawab dia sebagai pria.

Brendon akhirnya sampai di depan kamarnya, menarik embuskan napas beberapa kali, sebelum akhirnya berkata, "Sarah?" Ia memastikan apa ada orang di dalam.

"Brendon? Itu kamu?" Mendengar jawabannya, jelas sih.

"Boleh aku masuk?" tanya Brendon.

"Mm ... masuk aja." Agak heran padahal kan ini kamar Brendon sendiri, tetapi tetap sepertinya Brendon punya sopan santun sebagai laki-laki.

Brendon melangkah masuk, dan Sarah meletakkan nampan makanan ke nakas lagi.

"Oh um ... kamu lagi makan? Makan aja dulu, Sarah." Brendon berkata, tak enak, dia siap segera pergi.

Namun, Sarah menghalanginya. "Aku udah selesai, kok. Brendon, sini dulu."

Brendon agak kikuk, dia mendekati Sarah yang tampak tersenyum intens padanya, senyum yang penuh arti.

"Makasih, ya, Brendon, udah nolong aku. Tanpa kamu, mungkin aku udah kenapa-kenapa."

Brendon diam, dia malah semakin gugup, tanpa Brendon Sarah akan kenapa-kenapa? Justru Brendonlah perkara busuknya. Pemuda itu menunduk sedih.

Dan yang menangis tiba-tiba, nyatanya Sarah. "Aku gak tahu lagi, kalau aja kamu gak di sana dan nolongin aku, aku mungkin bakalan kenapa-kenapa."

Brendon gemetaran, rasanya dia mau ikut menangis. Pemangsa terbesar Sarah itu Brendon sendiri, dia penjahatnya, dia penjahat kelaminnya.

"Irwin jahat banget ...."

Bukan, dialah yang ....

Dia ....

Dan saat Sarah mulai menyeka air matanya, Sarah menatap bingung Brendon kemudian yang tiba-tiba ikut terisak juga.

"Sar, a-aku yang ...." Lalu, Sarah sadari, Brendon tadi menyebut dirinya aku, dan tadi juga menyebut kamu. Aku-kamu. Biasanya lo gue. "Aku yang sebenarnya lecehin kamu, Sarah."

"Hah?!"

BERSAMBUNG ....

•••

Jangan lupa klik bintang dan berkomentar jika suka 🤗

SEDIA ISTRI SEBELUM KAWINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang