Part 1

4K 245 13
                                    

20 Desember 2020

•••

Matteo hari ini menikah, dengan wanita yang ia cintai. Pilot itu menikahi seorang wanita yang tidak jauh dari profesinya, yaitu pramugari. Brendon hadir di sana sebagai tamu spesial, bersama orang tuanya, mereka adalah keluarga Matteo yang paling Matteo cintai. Adik seayah, ayah, dan ibunya.

Brendon, ia cowok kuliahan berkacamata tebal yang selalu memiliki sorot serius, bahkan ia serius memperhatikan bagaimana keberlangsungan pernikahan kakak seayahnya itu. Brendon yang seakan meneliti gerak-gerik insan di atas altar membuat ayahnya, pria tua yang duduk di sampingnya, menoleh dengan senyum geli.

"Brendon, kamu mau nyusul Kakak kamu, ya?"

Brendon menoleh, begitu datar. "Enggak."

Ayahnya mengulum bibir, melihat Brendon padahal ia selalu merasa bercermin dengan masa mudanya karena betapa miripnya wajah mereka. Namun, Brendon 180 derajat sangat berbeda darinya di masa lalu.


"Terus kenapa kamu lihatinnya seserius itu?" tanya sang ibu di sampingnya, memecah suasana canggung mereka.

"Bisa dibilang ini kali pertama aku lihat secara langsung acara pernikahan, Mah, Pah. Jadi begitu." Brendon si serius melipat tangan di depan dada, manggut-manggut kemudian.

"Ah, begitu ... kirain kamu mau nyusul segera Kakak kamu, kali aja iri."

"Nah, masa depanku masih perlu dibenahi, aku belum lulus, dan aku gak mau nyari pasangan sebelum sukses. Lagi, aku gak mau pacaran, aku pria dengan komitmen." Brendon berkata dengan ungkapan penuh ketelitian dan berpikir ke depan. Ibunya tersenyum seraya mengusap bahunya. "Mencari yang terbaik dengan menjadi yang terbaik."

Sang ayah menatap istrinya yang hanya tersenyum geli.

"Bagus, Sayang."

Acara pernikahan berlangsung dengan baik. Seraya memperhatikan, Brendon juga melakukan apa yang dilakukan orang lain. Bertepuk tangan, berdiri di antara perebutan bunga, meski ia tak terlalu tertarik mengambilnya, juga berdansa dengan sang ibu di malam harinya. Menikmati hidangan, melakukan hal lainnya sesuai keinginannya.

Begitu datar.

"Sayang, aku takut anak kita nanti gak tau seneng-seneng. Dia dewasa sebelum waktunya, lho, itu!" kata sang ayah, wajahnya kelihatan was-was.

"Kita enggak ada memaksa dia begitu, dan kebahagiaan seseorang itu beda-beda. Selama dia bahagia begitu, biarkan saja selama itu baik untuknya, kamu gak bisa nyamain seneng-seneng Brendon sama seneng-seneng kamu di masa lalu." Istrinya menenangkan suaminya tersebut.

"Tetep aja, aku khawatir dia datar begitu, malah susah nanti ...." Suaminya bersikeras.

Sang istri menghela napas.

"Aku mau ngomong sama dia dulu." Ia pun menghampiri putra keduanya itu, seraya mengeluarkan ponsel dari saku dan seakan-akan memainkannya sedemikian rupa bak bermain game.

Ia juga bersuara akan serunya ia memainkan benda itu, hal yang membuat Brendon yang asyik menyendiri sambil menikmati minuman menoleh ke ayahnya.

"Ah ... kalah ... Papah keknya ketuaan buat main ini." Di balik kacamatanya, Brendon selalu menatap dengan datar. "Kamu bisa mainin, gak? Bantu Papah naik rank, dong."

"Aku gak bisa main game, Pah. Bukannya rank Papah naik, nanti malah anjlok." Brendon menjawab.

Sang papah tetap menyodorkan ponselnya. "Ya udah, mainin aja asal, gak papa!"

SEDIA ISTRI SEBELUM KAWINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang