13.00
Nara yang tidak asing dengan wajah lelaki itu pun agak terkejut.
"Fero?" sapa Anin yang juga melihat lelaki yang sudah berdiri di depannya.
Fero pun tersenyum. "Hai,"
Nara pun tersenyum kikuk. Setelah empat tahun lalu terakhir bertemu di reuni SMA, baru detik ini dia bertemu dengan Fero–mantan pacarnya. Memang, sudah tidak ada lagi rasa dan apapun itu, namun tetap saja, ada sesuatu yang aneh di dalam hati Nara.
Anin yang menyadari suasana menjadi canggung pun berusaha mencairkan suasana. "Ah, mumpung ketemu di sini," kata Anin sambil mengambil beberapa undangan dari dalam tasnya itu. "Gue nitip undangan buat Dimas sama Kevin ke lo, masih satu kantor, kan?" tanya Anin sambil menyeringai.
Fero mengangguk sambil mengambil undangan pernikahan Anin itu. "Masih. Siapa yang mau nikah? Lo?" tanya Fero juga menyeringai. Fero juga merasakan cukup canggung bertemu dengan Nara kembali setelah sekian lama.
"Ya, gue, lah. Masa Nara mau nikah lagi," jawab Anin dengan santainya yang justru membuat Fero mengerutkan keningnya. Pandangan Fero pun tertuju pada jari manis tangan kanan Nara. Disitu melingkar sebuah cincin permata. Fero pun tersenyum kecut.
"Kamu udah nikah, Ra?" tanya Fero. "Kok, ngga ngundang, sih? Apa karena mantan jadi ngga diundang?" kata Fero selanjutnya sambil duduk di sebelah Anin.
Oh, Tuhan, Nara harus bagaimana? Ingin rasanya dia pulang sekarang juga.
Nara hanya mengangguk. "Tiga bulan lalu. Iya, emang ngga ngundang banyak orang, cuma keluarga aja," jawab Nara dengan santai. Mencoba menetralisir rasa canggung dan tak karuannya itu. Memang sudah tidak ada apa-apa, tapi jika bertemu seseorang di masa lalu, hati siapa yang akan tetap baik-baik saja?
Fero hanya mengangguk. "Selamat, ya. Suami kamu pasti beruntung dapetin perempuan sesempurna kamu," kata Fero diselingi tawanya.
Anin pun terbahak mendengar itu. "Halah, ngga usah gombal. Suami Nara tahu lo gombal receh kaya gini, habis," jawab Anin yang membuat Nara tersenyum malu.
Mereka bertiga pun bercerita ngalor-ngidul. Nara mencoba biasa saja, mencoba menganggap Fero hanya teman SMA-nya dulu. Karamnya hubungan Nara dan Fero memang tidak baik-baik saja karena kesalahan Fero. Namun, Nara sudah memaafkannya.
Obrolan mereka tidak cukup barang satu jam. Bercerita dengan kawan lama memang tidak akan habisnya. Segala topik menjadi bahan cerita, semua orang juga ikut diceritakan. Disela-sela obrolannya, ponsel Nara yang tergeletak di meja berdering.
Suamiku
Nara pun mengangkat panggilan suara dari Bian itu.
"Saya udah di depan," kata Bian di ujung sana. Tidak ada salam, tidak ada sapa, tidak ada basa-basi membuat Nara mengerutkan keningnya.
"Loh, kan, aku ngga minta jemput sekarang, Mas?" tanya Nara.
"Mau pulang atau engga? Kalau engga, ya, udah,"
"Eh, iya, iya, mau. Sebentar," ujar Nara sambil merapikan tasnya. Belum juga Nara mematikan sambungan teleponnya, sudah terlebih dahulu dimatikan oleh Bian.
Nara yang merasa tak enak hati pun bingung. Dia yang menyanggupi menemani Anin, namun dia juga yang harus pulang terlebih dahulu.
"Kenapa? Udah di jemput sama Pak Bian?" tanya Anin yang membuat Nara mengangguk. "Ya, udah, pulang aja ngga papa. Aku juga udah selese, kok, tinggal pulang juga," kata Anin selanjutnya sambil menggenggam tangan Nara menandakan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...