Oke, aku akan sering bercuap-cuap manja, ah. Wkwkwk
Sebelumnya aku minta maaf, ya, kalau baru kemarin konflik, ini dibuat konflik lagi. Itu karena aku menyadari, semakin aku panjangin ceritanya, semakin banyak juga part-nya, dan aku itu tipe orang yang paling ngga suka baca atau nulis cerita sampai beratus-ratus part. Aku juga ngerasa ini sebenarnya udah terlalu banyak part-nya.
Kenapa gitu? Karena aku ngga mau kalian bosen. Jujur, di sekarang ini aja aku takut kalian udah bosen gitu, makanya aku juga agak bingung.
Tapi, aku berharap kalian ngga merasakan itu, ya. Vote dan komentar-komentar yang kalian tulis itu bener-bener jadi support system-ku. Semoga kalian masih setia dan masih mau berkenan baca ceritaku ini.
Kalau mau kasih saran, masukan, atau pun hal-hal yang mau disampaikan mengenai Amerta, feel free banget untuk menyampaikan ke aku, okay? Dm di wattpad terbuka lebar, kalau mau ke twitter juga boleh.
Selamat membaca<3
_________
04.30
Nara mengerjapkan matanya beberapa kali. Lampu utama masih menyala, matanya berat, bahkan terlihat tidak bisa membukanya karena terasa perih. Bagaimana tidak? Hampir satu malam dia menangis, bagaimana cara dia tidur semalam saja Nara tidak ingat. Seingatnya, hanya sedang memandang foto USG dan setelah itu, entah.
Nara menengok sebelah kirinya, Bian tidak ada. Apa dia benar-benar tidak pulang?
Dengan pusing dan perut yang masih bergejolak Nara mencoba bangun, lalu duduk di tepi kasurnya. Kepalanya benar-benar pening. Entah karena menangis hampir semalaman atau karena apa Nara pun tak tahu. Nara berlari ke kamar mandi karena mual yang amat sangat hebat.
Beberapa kali dia mencoba memuntahkan apa yang ada di perutnya, namun nihil. Tidak ada apapun yang keluar. Hanya cairan bening. Nara menghela napasnya, ingin menangis lagi. Dia mengusap kasar wajahnya yang sudah seperti bukan Nara. Matanya membesar karena sembab, rambutnya terikat asal, wajahnya murung.
Mual yang dirasakan belum juga usai. Hingga sekitar lima belas menit dia berada di depan wastafel sudah lebih baik dari sebelumnya. Setelahnya, Nara mandi dan melaksanakan salat subuh. Setelah salat subuh, dia memilih untuk bergelut dengan selimutnya lagi. Tidak, Nara tidak tidur, hanya mengistirahatkan tubuhnya yang terasa tidak karuan ini.
-
06.00
Kaila sudah selesai mandi dan memakai seragam sekolahnya bersama Ncus Nina di kamar. Dia pun keluar untuk menuju meja makan karena akan sarapan. Sesampainya di meja makan, ternyata dia hanya melihat Hanna yang tengah duduk, menyiapkan piring, dan alat makan lainnya.
"Selamat pagi, Oma," sapa Kaila sambil duduk dibantu oleh Ncus Nina di samping Hanna.
Hanna yang menyadari akan kehadiran Kaila pun menengok ke arah kiri. "Selamat pagi cucu Oma sayang. Semangat banget, ya, hari ini sekolahnya," kata Hanna sambil mengusap rambut Kaila dengan sayang.
"Ibu, saya izin ke dapur dulu," pamit Ncus pada Hanna.
"Iya, Ncus."
Kaila mengedarkan pandangan ke sekitar. Tidak ada Ayah dan Bundanya. "Oma, Ayah sama Bunda di mana? Kok, belum turun?"
Hanna melihat jam di dinding. "Oh, iya, mungkin masih di kamar. Sebentar lagi juga ke sini. Tunggu, ya," kata Hanna. Kaila hanya mengangguk.
Hanna memang tidak mengetahui pertengkaran hebat anak dan menantunya semalam. Pun juga dengan Bian dan Nara yang belum sempat bercerita pada Hanna. Sudah sekitar lima belas menit setelahnya, Kaila masih saja menunggu kedatangan Bian dan Nara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...