35💚

152 13 1
                                    

Kesalahan mengajarkan kita betapa berharganya setiap waktu yang di lalui bersamanya.
.
.
.
.
.

Panji meremas kedua tangannya menunggu Zeya keluar dari kamar mandi membawa hasil yang sangat ia harapkan.

Ribuan kata-kata terangkai menjadi sebuah doa di dalam hati, semoga ia di beri kesempatan lagi. Kesempatan memperbaiki dan mendewasakan diri.

Semua orang pasti memilik kesalahan, tapi bukan berarti tidak berhak menata masa depan. Panji menyesali semua kesalahannya, kini satu-satunya harapan adalah dengan hadirnya calon anak mereka di dalam rahim istri yang teramat ia sayangi.

Pintu kamar mandi terbuka, Zeya keluar dengan raut wajah sendu dan senyuman tipisnya.

Rasa antusias yang membuncah di dalam dadanya membuat Panji berlari kecil menghampiri sang istri.
"Hasilnya apa Zey?"
Papa mohon kamu ada di dalam perut mama sekarang nak.

Zeya tak menjawab ia hanya menyodorkan alat tes kehamilan yang ada di genggaman tangan kanannya kepada Panji.

Panji menunduk lemas, menyapu rambutnya dengan kasar lalu mendongak menahan agar air matanya tidak keluar setelah melihatnya.

Harus seperti ini kah akhirnya? Bahkan darah dagingnya pun tak mendukung agar Panji bisa tetap bersama Zeya. Tanda satu garis merah menjadi saksinya.

"Zeya," lirih Panji. Entahlah ia bingung harus bagaimana kelanjutan hidupnya jika tanpa Zeya.

Zeya masih setia menggenggam erat testpacknya di hadapan Panji.

"Apa nggak ada kesempatan sedikitpun buat aku Zey?" Air mata sudah membendung di pelupuk mata Panji.

"Kamu sendiri kan yang ngajuin syarat pakai tespack?" Zeya bertanya seraya melipat kedua tangannya di dada.

Tatapan nanar Panji tepat mengarah pada iris coklat Zeya.

"Aku cuma ngikutin saran Mama kamu Zey," ucapnya lemah.

"Kenapa bisa minta saran ke Mama? Kapan kamu ke rumah aku."

"Setelah kita bertengkar di telepon, nggak lama Mama kamu telepon nanyain kabar kita karena katanya kamu susah dihubungin. Aku jawab kita baik-baik aja. Trus Mama nanya kamu udah hamil atau belum aku jawab nggak tau, tapi aku bilang akhir-akhir ini kamu lebih sensitif sama bau, suka makan rujak campur makanan lain, aku lihat pembalut kamu juga utuh di kotaknya. Mama berkesimpulan kamu hamil ya udah aku beli testpack. Aku nekat kasih syarat pakai alat itu karena aku yakin kamu hamil."

Zeya berdecak kesal. "Ini yang aku nggak suka dari kamu Ji, kamu ceroboh tanpa pikir panjang. Kalau hasilnya mengecewakan gimana? Kalau mau bertindak tuh pikir dulu."

"Andai nggak ada testpack ini kamu setuju kita cerai?" Tanya Zeya.

Panji memegang kedua pundak Zeya seraya menggelengkan kepala dengan cepat. "Nggak akan Zey."

Zeya masih melipat kedua tangannya di dada tanpa menggeser posisi genggaman jari-jarinya pada testpack.
"Ceritain awal kamu jalan sama Alin," tantangnya.

"Jangan mancing sakit hati kamu sendiri, aku nggak mau cerita soal itu."

"Mau pisah ngapain sakit hati, cepet cerita!"

Cinta Lama Mahasiswa Baru | (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang