"Kamu masih ingat aku bilang apa sebelum kita jadian, kan?" tanya Ryan.
Zeline mengerutkan keningnya karena tidak tahu yang mana yang dimaksud oleh Ryan. "Yang mana? Aku cantik?" tanyanya sedikit bercanda, lalu terkekeh sendiri.
Ryan mengusap kepala Zeline, lalu menggeleng. "Bukan yang itu."
Alis Zeline mengeriting, tampaknya berpikir, meskipun kenyataannya yang ia pikirkan saat ini adalah Ryan. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa ada orang setampan pacarnya itu.
"Apa waktu kami bilang aku pengganggu, ya?" sebut Aleeya.
Ryan menggeleng. "Yang aku bilang sedetim sebelum kita jadian di Taman Tabebuya."
Zeline menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. "Aku cinta sama kamu?"
Ryan menatap mata Zeline yang tampak tidak memiliki satu petunjuk pun tentang ucapannya dulu.
"Kamu bilang kalau apa pun yang terjadi kamu nggak akan pernah ninggalin aku," ucap Ryan
Dan akhirnya Zeline mengingat janjinya dulu. "Astaga, kalau yang itu bukan diingat lagi, tapi emang udah mendarah daging."
Zeline maju selangkah dan memangkas semua jarak yang menghalanginya dari Ryan. Kedua tangannya melingkar di pinggang lelaki itu dengan kepala yang disandarkan di dada kekasihnya.
"Mana mungkin aku ninggalin kamu. Pokoknya aku akan selalu ada di samping kami apa pun yang terjadi. Ya, kecuali aku mati duluan, mau bagaimana lagi," ungkap Zeline.
"Benar, ya, kamu udah janji sama aku," lirih Ryan.
Lelaki itu membalas pelukan Zeline. Menciumi puncak kepala Zeline berkali-kali dengan mata memejam. Ia menghirup atima tubuh Zeline yang cukup menenangkannya.
Bukankah hidup memang benar-benar tidak adil pada Ryan. Sekuat hati ia bertahan dengan semua luka yang bersemayam di hatinya. Dan semua luka itu perlahan sirna sejak kehadiran di kehidupannya. Ia tidak akan rela jika sampai terjadi sesuatu kepada hubungan mereka.
Ryan tidak akan pernah melepaskan Zeline yang sudah menjadi oase dalam hidupnya yang tandus. Perempuan itu layaknya oksigen yang membuat sesak di dadanya hilang. Apa pun akan ia lakukan asalkan perempuan itu tetap berada di sisinya.
"Akhirnya aku bisa dipeluk lama sama kesayanganku," ucap Zeline, lalu cekikikan.
"Aku udah sering peluk kamu," sebut Ryan.
"Tapi nggak pernah selama ini," blas Zeline. "Pokoknya nggak mau kalau kalau lepas. Peluk aku selamanya."
"Aku maunya begitu. Tapi satu jam aja pelukan kayak gini, kita akan kepanasan, kesemutan, pegal-pegal. Kita nggak akan nyaman dan aku nggak mau sampai kamu rasain itu, Sayang," jelas Ryan.
Kepala Zeline mendongak menghadap wajah Ryan yang agak tertunduk untuk menatapnya. Bibir Zeline maju menyerupai bibir bebek. Satu tangan Ryan terlepas dari pelukannya pada Zeline. Ia meletakkan tangannya itu ke bibirnya, lalu ke bibir Zeline.
Pipi Zeline memerah dan matanya berkedip-kedip. Senyum lebar melengkung di wajah cantik itu. Ia segera membenamkan wajahnya lagi ke dada Ryan, bersembunyi karena pipinya yang menghangat sekarang.
"Ahhh, Ryan mah sering banget tiba-tiba bikin salting," lirih Zeline.
Zeline mengangkat pandangannya lagi setelah beberapa detik. Ia memperhatikan bibir Ryan dan tanpa aba-aba, tanpa disadari oleh Ryan, Zeline berjinjit dan menempelkan bibirnya ke bibir Ryan.
Mata Ryan membesar karena tidak menyangka Zeline akan menciumnya. Tepatnya mengecup karena yang dilakukan perempuan itu hanya menempelkan bibirnya ke bibir Ryan. Meskipun Ryan menyukainya, bahkan membuatnya nyaris kehilangan napas, ia memegang bahu Zeline dan mendorong perempuan itu menjauh darinya.
"Loh, kamu nggak suka, ya?" tanya Zeline, tampak agak kecewa.
"Bukannya nggak suka, tapi kita lagi di jalan. Kau ada orang yang lihat bagaimana?" jawab Ryan.
"Semalam waktu kita berduaan, gelap-gelapan, kamu nggr ada inisiatif juga. Jangan-jangan kamu emang nggak suka, ya?" tuding Zeline.
"Nggak, bukan begitu. Lihat kita lagi di jalan, Sayang," sangkal Ryan. "Lagian, aku cinta sama kamu bukan karena gmau mencium kamu. Aku mau semuanya di waktu yang tepat, Sayang," lanjutnya, lalu mengulas senyum pada Zeline.
"Oh ya? Apa kamu baru menciumku lagi setelah kita menikah? Apan kita bakal nikah? Kapan? Ayo ke KUA sekarang," desak Zeline kegirangan.
Ryan mengusap "Bukan sekarang juga, Zeline. Nanti setelah kita udah sama-sama siap."
"Aku udah siap, kok. Siap banget malah," ujar Zeline. Ia menggelayut di lengan Ryan seperti anak kecil. "Sekarang aja, ayo, sekarang aja."
Ryan terkekeh pelan melihat tingkah Zeline yang menurutnya lucu. Bagaimana bisa ia melepaskan perempuan itu jika sekarang sumber kebahagiaannya cuma dirinya seorang.
"Kamu tenang aja, kamu nggak perlu kerja dulu karena kita bisa tinggal ndi rumahku. Mama sama papaku nggak akan keberatan kalau kita numpang hidup sama mereka. Aku, kan, Satu-satunya anak mereka sekarang," jelas Zeline. Ia melanjutkan dan terkekeh-kekeh, "Aku pewaris semuan harta papaku."
Ryan ikut tertawa bersama Zeline. Selain itu, ia tahu bahwa Zeline memang sering bercanda seperti sekarang. Dan mungkin itu juga yang membuatnya lebih santai bersama perempuan itu.
"Kita jalan sekarang, ya," ajak Ryan. "Lagian katanya mau singgah lihat kebun teh, tapi malah ngobrol kayak gini."
"Mau gimana lagi, pemandangan wajah kami lebih indah, sih," ungkap Zeline.
"Kamu jm lebih cantik lagi, Sayang," puji Ryan, menangkup kedua pipi Zeline.
Zeline meletakkan satu tangannya di dada. "Aduh, aku terpanah oleh ketampanan Ryanda. Aku tidak kuat, Tuhan."
Ryan menatap Zeline yang sedang bergurau sambil memasang wajah ceria. Entah akan jadi seperti apa hidup Ryan kalau tidak bertemu dengan Zeline. Hidupnya yang dulu hanyalah kehampaan dan gelap, kini lebih berwarna dan penuh akan harapan esok lebih baik sejak mereka bersama. Namun, apa yang akan ia lakukan kalau sampai Zeline tahu tentang kecelakaan itu.
Kalau Zeline diambil dari hidupnya, ia tidak akan bisa bertahan lagi. Zeline adalah satu-satunya orang yang menerimanya apa adanya. Tidak peduli dengan keadaan jiwanya yang sakit, perempuan itu tetap mencintainya.
Terlalu hanyut oleh pikirannya, tanpa disadari oleh Ryan, setetes air mata lolos hingga pipinya. Hal itu pun tak luput dari penglihatan Zeline.
"Loh, kamu kenapa nangis?" tanya Zeline, mengusap pipi Ryan dengan lembut. "Kamu barusan, kan, sudah minum obat. Apa kamu sakit lagi?"
Ryan terdiam. Iya, dia sakit, tapi kali ini berbeda. Ia menatap Zeline dalam, laku menarik perempuan itu lagi ke dalam pelukannya.
"Aku menangis karena bahagia. Aku bahagia karena Tuhan mengirim malaikat cantik seperti kamu ke dalam hidupku. Aku nggak mau kamu pergi, Sayang. Aku mau kamu selalu menemaniku selamanya di sini," lirih Ryan.
Zeline tersenyum puas. "Akhirnya kamu bucin juga sama aku." I lantas cekikikan.
"Aku juga bahagia sama kamu, Iyan. Sampai kapan pun, kamu satu-satunya dalam hidupku dan nggak akan digantikan oleh siapa pun juga. Kim Taehyung aja lewat kalian kamu mah," ungkap Zeline.
Ryan mengerutkan keningnya. "Siap Kim Te? Kim?"
"Dia idol K-pop. Kamu nggak usah cari tahu. Kalau nggak kenal Kim Taehyung berarti kamu juga nggak kenal Lisa Blackpink. Aku nggak mau pikiran namun terbagi antara Lisa dan aku," sungut Zeline. "Kamu gede, sih, tapi nggak rela dibagi-bagi."
"Aku nggak akan bagi apa pun sama orang lain. Pokoknya satu ujung kuku kaki sampai ujung rambut milik kamu," ucap Ryan.
"Semuanya milik aku? Sampai ke dalam-dakamnya?" tanya Zeline.
"Iya, sampai ke dalam-dalamnya," jawab Ryan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...