Bagi seorang ibu, senyum anaknya adalah kebahagiaan. Namun, tidak bagi Anita. Setiap kali Ryan tersenyum, ia selalu marah. Saat anaknya itu tersenyum, matanya akan tampak berbinar. Dan, Anita benci mata itu. Mata yang selalu mengingatkan ia pada lelaki yang tega meninggalkannya dalam kondisi hamil.
Saat itu, Anita hanya gadis muda yang dibutakan cinta. Ia rela memberi segalanya untuk lelaki yang dicintainya. Namun, siapa yang menyangka jika ternyata lelaki yang ia cintai telah memiliki tunangan. Alasan bahwa mereka tidak sama kasta menjadi penyebab ia tidak mendapatkan restu dari orang tua kekasihnya itu. Seakan-akan buta, lelaki berengsek yang menghamilinya justru meninggalkannya dengan memberi bayaran untuk menggugurkan janin yang ia kandung.
Anita yang putus asa telah mencoba berbagai cara untuk menggugurkan kandungannya. Namun, janin Anita terlalu kuat. Keluarganya yang tahu merasa malu. Ia diusir dan hidup melarat. Untung saja ia bertemu dengan lelaki baik yang siap menerima ia dengan bayinya, Narendra, teman baiknya saat SMA.
Narendra adalah duda dengan satu anak. Istrinya meninggal tidak lama setelah melahirkan. Anaknya yang masih kecil butuh ibu, apalagi ia adalah pekerja keras yang selalu sibuk. Itu sebabnya, saat melihat Anita yang terluntang-lantung dengan perut membuncit, ia memutuskan untuk menikahi perempuan itu.
Anita sebenarnya ibu yang penyayang, terbukti ia bisa menyayangi Rey, anak sambungnya. Hanya saja wajah Ryan yang didominasi oleh mantan kekasihnya, membuat hati Anita selalu meradang. Itu sebabnya, ia selalu marah dan acuh pada anaknya itu. Wajah Ryan selalu mengingatkannya pada masa kelam yang ia lalui. Ditinggalkan, terusir, dan dihina.
Rasa bangganya pada semua prestasi Ryan tertutupi oleh luka masa lalunya itu. Setiap kali ia berusaha untuk ramah kepada Ryan, tawa ayah Ryan dan istrinya terngiang, seakan-akan menertawai Anita atas kemalangan yang menimpanya.
Anita duduk di ranjang. Di tangannya ada album yang isinya hanya gambar Ryan, dari bayi hingga tahun sebelum anaknya itu dirawat di rumah sakit jiwa. Ia mengelus setiap gambar dengan air mata yang terus menetes.
Senyum di wajah Ryan mengiris-iris hati Anita. Masih ia ingat saat pertama kali mendengar tangisan Ryan. Tangisan yang menurutnya sepadan dengan segala perjuangannya. Rasa sesal menyeruak di benaknya karena pernah mencoba membunuh anaknya itu.
Namun, sesal itu kini tumbuh lebih besar. Ia mungkin tidak membunuh Ryan, tetapi jiwa anaknya sakit berkat perbuatannya. Kalau saja ia bisa bersikap lunak dan berdamai dengan masa lalu, mungkin senyum anak yang ada di gambar itu tidak akan mati.
Tatapan Anita terus tertuju pada potret Ryan. Sentuhan lembut di pundaknya belum mengalihkan perhatiannya.
"Rey sudah cerita. Kamu tidak apa-apa, kan?" Narendra duduk merangkul pundak Anita.
"Aku salah, Pa. Kalau saja aku bisa memperlakukan Ryan dengan baik, dia tidak akan seperti sekarang. Aku yang salah."
Narendra menarik Anita, memeluk perempuan itu lama. Ia mengelus punggung dan kepala istrinya yang masih terisak.
"Nanti biar aku yang bicara baik-baik sama Ryan. Dia pasti akan mengerti."
Anita mendongak menatap wajah lelaki yang memeluknya. "Bagaimana dengan Zeline?"
Narendra meletakkan jemarinya di pipi Anita. "Biar aku yang urus. Jangan menangis lagi!"
*.*.*.
Ryan duduk di pinggir danau sambil menyandarkan kepala di bahu Zeline. Matanya terpejam dengan tangan melingkar di pinggang gadis di sampingnya. Mereka bolos kuliah lagi, dan memilih mendatangi taman yang sepi saat hujan itu.
"Iyan, bagaimanapun, Tante Anita tetap mama kamu." Zeline mencoba memberi pengertian.
Tidak ada balasan dari lelaki yang memejamkan mata itu. Namun, Zeline tidak menyerah. Ia terus menjelaskan tentang berharganya seorang ibu bagi anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Novela JuvenilRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...