Karina dan Tika saling memandang dengan mata membesar. Lantas, beralih pada Zeline yang kini berada di hadapan mereka.
"Aku nggak pengen libur, maunya ke kampus terus," ungkap Zeline sedih. "Sehari nggak ketemu sama My Prince, udah kayak seabad."
Karina mengenal Zeline sejak masih SMP. Mereka sempat berpisah di SMA, karena Karina ikut keluarganya di luar kota. Namun, sejauh yang ia ketahui, Zeline tidak pernah bertingkah seaneh itu hanya untuk seorang lelaki.
"Kamu benar-benar menghubungi nomor dukun itu?" tanya Karina.
Zeline mengangguk membenarkan.
"Kamu mau pake dukun buat si Ryan itu?" Tika ikut bertanya.
Zeline membuka isi pesan yang ia kirim pada nomor dukun yang dikirim oleh Karina. Karina meraih ponsel itu, membacanya bersama Tika. Dua perempuan itu mengernyit membaca pesan itu.
"Maksudnya apa?" tanya Tika hampir melempar ponsel itu.
"Ya, aku cuma nanya sama dukun gelo itu, sempat Ryan ternyata pake jasanya biar aku ngejar-ngejar dia kayak orang gila," celoteh Zeline.
Kedua teman Zeline tertawa. Mereka kira Zeline tidak sadar bahwa beberapa hari ini ia memang sudah dianggap gila oleh seluruh penghuni kampus. Bayangkan, seorang Zeline yang berkali-kali mematahkan hati setiap lelaki yang mendekatinya, justru ditolak berkali-kali oleh orang yang sama.
"Aku pikir kamu benar-benar mau kirim pelet buat si Ryan itu," ucap Karina.
Zelin mengangkat satu sudut bibir atasnya. Ia mencibir, "Hellow, apa aku tampak seputus asa itu. Aku Zeline, gadis sempurna yang bisa mendapatkan apa pun."
"Iya deh, iya, si paling Sempurna!" cibir Karina melemparkan tisu bekas di wajah Zeline.
Zeline menjerit, "Ih, Kakar, apaan, sih. Mukaku yang cantik permanen, nanti kotor."
Tika hanya tersenyum tipis. Ia mengernyit menatap di kejauhan. Ia pasti salah lihat.
"Woi, diam aja, sariawan?" Zeline menyentil lengan Tika.
"Itu ... bukannya, Ryan?" Tika menunjuk ke luar Cafe.
***
Mata Ryan menatap kosong pada rumah megah yang ia huni. Ada ragu yang menyusup dalam dirinya. Ia tidak ingin masuk ke dalam sana. Jantungnya tiap kali menginjak lantai rumah itu selalu berdetak lebih kencang. Dadanya bisa tiba-tiba sesak tanpa sebab.
Setelah beberapa menit berdiri di samping motor, Ryan mulai melangkah. Naik melewati lima anak tangga dengan pelan dan kepala yang menunduk. Sebelum melewati pintu, ia memperbaiki letak topinya. Debaran itu makin terasa, rahangnya mulai mengeras, apalagi setelah mendengar teguran dari perempuan yang duduk di ruang tengah, tepat di depan tangga untuk naik ke kamarnya.
Suara majalah yang terlempar di meja sempat membuat Ryan kaget. Namun, ia berusaha menahan diri. Berbagai sugesti agar dirinya tetap tenang ia rapalkan dalam hati. Matanya terpejam mencoba mengatur napas.
"Dari mana saja kamu? Dihubungi bukannya diangkat, malah di-reject," omel Anita.
Ryan tidak tau saja, betapa perempuan itu bertanya-tanya tentang keadaannya. Dari pagi lelaki itu telah keluar dan baru pulang. Sebagai ibu, Anita sangat khawatir, apalagi anaknya itu harus rutin minum obat.
Ryan tak bergeming. Ia mematung tanpa suara.
Anita berkacak pinggang sambil mendengkus kesal. "Kamu itu sakit, Ryan. Kalau kenapa-napa di jalan, Mama juga yang repot!"
Rahang Ryan mengeras. Segala sugesti positif yang ia bisikkan pada diri sendiri percuma. Ia berlari menaiki tangga, tanpa menghiraukan panggilan ibunya. Ia hanya ingin pergi, pergi sejauh mungkin, di mana hanya ada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...