Masa Yang Telah Berlalu

179 23 10
                                    

Pagi itu, Ryan sudah siap untuk ke kampus. Ia hanya tinggal menunggu Zeline untuk menjemputnya. Hujan masih sering mengguyur ibu kota, hingga susah jika harus berangkat dengan motor. Rasa takutnya berada dalam mobil pun bisa ia atasi, meski belum berani memegang kemudi.

Ryan duduk di sofa, sesekali tersenyum membalas pesan Zeline. Gadis itu baru saja memgirim gambar wajah tanpa riasan sambil memonyongkan bibir. Tidak lupa menambahkan kalimat narsis, 'Mau diapain juga, mukaku tetap cantik'.

"Ryan!" Panggilan itu membuat Ryan mendongak.

Anita berdiri di depan Ryan, lalu mengambil tempat di dekat anak keduanya itu. Tidak ingin berada dekat dengan ibunya, Ryan bergeser hingga di ujung sofa. Ia hanya melirik sekilas, dan kembali menekan-nekan layar ponsel.

"Mama mau bicara," pinta Anita, tatapannya sendu pada Ryan.

Ryan tidak membalas.

"Tinggalin Zeline, Nak. Mama tidak mau kamu terluka," sambung Anita.

Pegangan Ryan pada ponselnya mengerat. Ia berbalik pada Anita dengan seringai.

"Berhenti ucapin omong kosong, Ma!" Ryan menekan setiap kata.

Anita menggeleng-geleng. Pelupuknya mulai basah. Ia mengungkapkan betapa ia khawatir pada kondisi rapuh Ryan. Ia tidak ingin anaknya itu mengalami sakit seperti sebelumnya.

"Cukup, Ma!" bentak Ryan, tidak tahan dengan ucapan ibunya. "Kalau ada orang yang selalu melukai Ryan ... itu Mama!"

Ryan berdiri. Ia tidak ingin melihat ibunya saat ini. Ia tidak ingin hilang kendali. Namun, niat Ryan  untuk pergi terhalang oleh pegangan ibunya.

"Ryan, Mama cuma tidak mau kamu seperti dulu lagi."

Ryan mendengkus kesal. Ia menghempas tangan Anita kasar. Setiap kali melihat wajah perempuan di depannya, Ryan selalu mengingat masa kecilnya yang penuh air mata. Juga masa kelam saat ia harus mendekam di kamar sempit rumah sakit jiwa, bahkan ia pernah terikat.

"Mama tinggal masukin aku ke rumah sakit jiwa lagi," desis Ryan.

"Kamu tau Mama tidak mau kamu masuk ke tempat itu lagi." Air mata mulai membanjiri wajah Anita.

"Bullshit, Ma!" teriak Ryan.

Dari pintu masuk Rey dengan wajah bingung. Lelaki yang baru saja datang selepas mengantar Raya ke sekolah mendekat pada Anita dan Ryan.

"Ryan," sebut Rey lembut, menyentuh pundak Ryan yang naik-turun. Ia tahu bahwa jiwa rapuh Ryan butuh pengertian dan kelembutan. Sayang, kadang ibunya tidak mengerti itu.

Ryan bergeser, membiarkan tangan Rey terjatuh di udara. "Berhenti sok perhatian. Kamu bahkan bukan saudaraku," geramnya.

Rey dan Anita saling bertatap. Ryan tidak seharusnya tahu hal itu. Hanya Rey dan orang tuanya yang tahu. Rahasia itu dijaga dengan baik, sehingga mustahil Ryan bisa mengetahuinya.

"Kenapa?" tanya Ryan dengan seringai kecil. "Kalian pikir aku tidak tau."

Rey tersenyum. Ia mengubah mimiknya cepat, memasang wajah pura-pura tidak mengerti.

"Itu bukan salah Ryan, Ma!" cecar Ryan. "Bukan salah Ryan karena lahir dari hasil kotor Mama!"

Anita membelalak menatap Ryan. Anaknya tidak seharusnya tahu hal itu.

"Kenapa Mama benci sama aku? Kalau bisa memilih, aku juga tidak mau jadi anak Mama!" erang Ryan. Seluruh perkataan buruk ibunya di masa lalu bermain di kepalanya.

Rey masih berusaha untuk menenangkan Ryan. Sementara itu, Anita kehilangan kata-kata.

"Mama mau tau alasan aku gila, itu karena Mama. Aku bahkan jijik menyebut 'Mama'," lanjut Ryan.

When I See You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang