Aku Sayang Kamu

122 26 5
                                    

Sudah dua hari Ryan tidak hadir di kampus. Banyak yang bertanya-tanya keadaan lelaki itu. Leo pun merasa bersalah begitu tahu bahwa Ryan kecelakaan. Banyak dari mereka yang ingin menjenguk, tetapi Zeline tidak memberikan alamat. Padahal, hanya gadis itu yang tahu. Meminta pada pihak tata usaha, tentu hanya akan kena marah.

"Kok bisa kecelakaan, Zel?" tanya Tika masih penasaran.

"Mana aku tau," jawab Zeline acuh. Ia sibuk membaca pesan Ryan. Kemarin dia terus mengirim pesan untuk menanyakan kabar lelaki itu. Meski, kadang ia mengirim pesan yang sangat panjang, dan hanya dibalas 'ya' oleh lelaki itu.

Namun, ilmu ibunya akan Zeline terapkan lagi. Tarik, lalu ulur. Setelah itu, biarkan angin yang menentukan arahnya.

"Kamu kenapa sih, Zel? Dari tadi senyam-senyum sendiri. Aneh!" rutuk Karina mengerutkan kening.

"Kami yakin tidak tertular gila sama si Ryan, 'kan?" sinis Tika.

Zeline memukul meja di depannya. Mata besarnya menatap tajam pada Tika. Ia tidak terima dengan perkataan temannya itu. Dengan nada mengancam ia mengingatkan agar Tika tidak mudah melabeli Ryan dengan kata gila.

Sepanjang hari Zeline memilih untuk duduk di bangku Ryan, di sudut ruangan. Pikirannya bermain mengenai kemungkinan penyebab lelaki yang ia sukai itu pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Pandangannya mengedar. Ia ingin menatap dari jendela Ryan untuk mengerti. Dari sana ia bisa melihat banyak kondisi ruangan. Namun, tidak banyak yang bisa melihatnya.

***

Ringisan pelan tertahan di mulut Ryan. Satu tangan telah masuk di lengan kemeja. Ia melebarkan kemeja navy itu dan mengangkat pelan tangannya yang dibalut perban untuk masuk di lengan yang lain. Susah payah Ryan mengenakan kemeja itu, apalagi saat mulai mengancing satu persatu dengan satu tangan.

Langkah Ryan pelan dan terpincang-pincang. Ia ingin keluar dari rumah itu. Jantungnya sering kali berdetak kencang saat mendengar suara ibunya. Ia ingin pergi kuliah, tetapi kampus pun bukan tempat yang aman. Di sana, ia akan menjadi pusat perhatian. Kata-kata yang tidak ingin ia dengar akan sering terlontar.

"Ryan, kamu ini ngeyel, ya. Mama bilang istirahat dulu." Tahan Anita begitu Ryan hendak keluar. "Mau pake apa kamu ke kampus. Mana bisa kamu bawa motor. Atau, kamu mau beranikan diri pake mobil. Biar apa, biar nabrak lagi!" Anita tidak berhenti mengomel, tetapi tidak ditanggapi oleh Ryan.

Meski pincang, Ryan tetap melangkah. Ia menuruni anak tangga. Keningnya mengerut dengan mata memicing menahan sakit. Ia sudah memesan ojek online yang akan mengantarnya menuju salah satu taman di Jagakarsa. Ia butuh udara segar untuk menjaga kesadaran jiwanya.

Ryan sering datang di siang hari di tempat itu, terutama saat jam kerja. Ia bisa menikmati waktu sendiri yang tenang di sana. Meski ada pengunjung lain, ia tak akan terganggu karena banyak titik lain yang bisa ditempati olehnya, mengingat taman itu sangat luas.

Entah apa yang sedang ada di pikiran Ryan. Ia mengirim gambar sebuah pohon khas di taman itu pada Zeline. Kenapa Zeline? Karena, gadis itu satu-satunya orang yang mengirim pesan menanyakan kabarnya. Satu-satunya orang yang memberinya senyum indah. Satu-satunya orang yang memanggilnya 'Iyan', selain Bik Mina.

Zeline, orang yang selalu ia hindari, tetapi kadang menjadi satu-satunya yang ingin ia temui.

Tubuh Ryan telentang di atas rerumputan hijau, tepat di bawah pohon kelapa di depan sebuah danau yang ditempati banyak bunga teratai. Pandangannya mengarah ke atas, pada langit biru yang berteman awan putih. Tidak ia pedulikan sinar matahari yang seakan membakar kulit wajahnya.

Ia bersenandika dalam kesendirian. Air mata mengalir begitu saja dari dua matanya. Rasa sesak itu masih ada tiap kali mengingat malam itu, malam yang membuat dunianya hancur seketika. Kenyataan yang merenggut senyumnya, mungkin untuk selamanya.

When I See You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang