Dia Pacarku

118 23 5
                                    

Mobil yang mengantar Zeline ke kampus hendak berbelok memasuki gerbang. Namun, gadis itu segera memberi perintah pada Pak Kus untuk mengikuti motor Ryan yang saat itu keluar.

Zeline sudah menelepon Tika baru saja. Dari temannya itu, ia tahu bahwa Ryan sudah keluar dari kelas setelah Leo bertanya tentang kebenaran desas-desus itu. Ia khawatir pada Ryan. Itu sebabnya ia memutuskan untuk ke kampus. Lupakan tentang filosofi layang-layang itu.

Teriakan Zeline menggema di mobil itu begitu motor Ryan mencium kasar trotoar. Ia menjerit melihat tubuh Ryan seakan terbang menabrak tiang marka jalan.

"Berhenti, Pak Kus!" pekik Zeline.

Sang sopir seketika menginjak rem, membuat mobil di belakang membunyikan klakson. Pak Kus mulai meminggirkan mobil, meski agak susah karena lalu lintas yang ramai.

Zeline berlari menuju lokasi kecelakaan Ryan begitu turun dari mobil. Ia mendorong orang-orang yang sudah berkerumun di tempat itu.

"Ryan!" jerit Zeline histeris, membuat perhatian tertuju padanya. Dada Zeline mendadak sesak dan air mata mulai turun ke pipinya. Ia luruh dan duduk di trotoar sesegukan, hingga kening orang-orang yang berkerumun mengerut. Ada juga yang berbisik tak mengerti kenapa gadis di depan mereka begitu histeris, sementara lelaki yang mengalami kecelakaan tampak baik-baik saja. Hanya lecet di siku dan mungkin sakit di paha akibat terbentur di tiang.

"Dia baik-baik saja, Non," ucap Pak Kus mencoba menenangkan Zeline. Sopir itu beralih pada Ryan, berniat untuk membantu lelaki itu berdiri, tetapi tangannya langsung dihempas.

"Dia sepertinya tidak butuh bantuan, Pak," ucap seorang dari kerumunan yang mulai menjauh.

Tadi, ada beberapa orang yang berusaha membantu Ryan dan diperlakukan sama dengan Pak Kus tadi. Ada juga yang bertanya tentang keadaannya, tetapi diacuhkan. Itu sebabnya kebanyakan dari mereka memutuskan untuk melanjutkan aktivitas masing-masing.

"Iyan?" ucap Zeline yang masih terisak.

Ryan menyentuh lengan kirinya sambil meringis pelan. Pikirannya dipenuhi tanya tentang cara untuk pulang, sementara lengan dan kakinya sakit minta ampun.

"Pak Kus, tolong bantu, bawa ke mobil," pinta Zeline.

Lagi, tangan Pak Kus dihempas oleh Ryan.

"Iyan, Pak Kus cuma mau bantu," sebut Zeline yang meletakkan tangan di pundak Ryan.

"Pergi!" pekik Ryan dengan suara bergetar.

Zeline menyentuh lengan Ryan. Ia ingin membantu lelaki itu untuk berdiri.

"Pak Kus telpon bengkel, buat motor Ryan, ya!" pinta Zeline lagi. Lantas, tatapanya beralih pada Ryan yang berusaha menghempas pegangan Zeline. "Jangan ngeyel, Yan! Aku dan Pak Kus cuma mau bantu."

Ryan tidak punya pilihan lain. Ia tidak lagi melawan saat kedua sisi tubuhnya dipapah oleh dua orang. Sadar akan dibawa masuk ke mobil, Ryan mulai histeris.

"Tidak! Jangan!" mohon Ryan menggeleng-geleng dengan helem main terpasang.

"Jangan didengar, Pak! Bawa masuk," putus Zeline.

***

Mobil SUV keluaran baru itu memasuki pagar hitam yang merupakan rumah Ryan. Tadi, Zeline berniat untuk membawa lelaki itu ke rumah sakit, tetapi ditolak. Ia sebenarnya takut melihat ekspresi Ryan saat masuk di dalam mobil. Lelaki itu meringkuk di ujung, kepala tertunduk, dan bahunya terlihat naik-turun.

Kadang Zeline mendengar Ryan menggumam tak jelas. Saat ditanya alamat rumah pun, lelaki itu baru menjawab setelah berkali-kali ditanya.

Tubuh lemah Ryan dipapah oleh Pak Kus. Sementara, Zeline hanya mengikut di samping Ryan, memandang dengan wajah khawatir.

"Den Iyan!" Bik Mina yang membuka pintu langsung kaget melihat kondisi anak majikannya. "Tolong bawa di sofa itu saja, Pak!" pintanya pada Pak Kus.

"Astaga, Ryan!" Suara kerasa membuat Zeline berbalik. Di belakangnya ada seorang ibu yang mungkin seusia dengan ibunya, berdiri memandang Ryan. "Mama juga bilang apa, tidak usah bawa motor!" omel Anita.

Kening Zeline mengerut. Bukankah seorang ibu harusnya khawatir, bukannya mengomel saat melihat anaknya habis kecelakaan. Ia kembali menatap Ryan yang sudah meminta pada Bik Muna agar dibawa ke kamar.

"Biar aku bantu," tawar Zeline. "Pak Kus tunggu di mobil aja!" Ia beralih pada sopirnya.

Zeline mengedarkan pandan pada kamar Ryan yang didominasi warna putih. Tampak kosong, tidak ada hiasan atau pigura apa pun di sana. Hanya ada ranjang, lemari pakaian, rak yang berisi banyak buku, juga meja belajar yang di atasnya ada laptop dan alat tulis.

"Bibik ambil kotak obat dulu, ya," ucap Bik Mina yang segera keluar dengan langkah cepat.

Embusan napas kasar keluar dari mulut Zeline kala melihat Ryan yang berusaha membuka jaket. Padahal, lelaki itu bisa meminta tolong padanya. Awalnya, Zeline hanya menatap dan menunggu permintaan tolong. Namun, lelaki itu terlalu keras kepala.

"Sini aku bantu!" ucap Zeline yang sudah menarik lengan kanan Ryan agar keluar dari jaket. Ia menari jaket itu ke sisi yang lain. Ringisan pelan terdengar saat ia mulai menurunkan lengan jaket bahan denim itu dari lengan kiri Ryan yang terluka.

Zeline menaikkan satu alis menimbang bagaimana cara untuk melihat luka Ryan, sedang lelaki itu mengenakan kaos lengan panjang.

"Kenapa sih, hobi banget pake lengan panjang?" protes Zeline tak tahu harus bagaimana.

Tidak lama pintu kamar Ryan terbuka. Bukan Bik Mina yang datang, tetapi Anita. Zeline yang berdiri di dekat Ryan langsung mundur.

"Kamu tuh ya, kalau dibilang kenapa susah sekali mendengar!" omel Anita meletakkan kotak P3K di sisi ranjang. Ia mulai meraih gunting di atas kotak itu. "Selalu saja bikin khawatir, bikin repot!" sambungnya.

Baru berniat meraih lengan baju Ryan untuk digunting, tangan Anita dipegang erat oleh Ryan. "Tidak usah urus Ryan kalau memang repot!" ujar Ryan dengan nada ditekan.

"Tidak usah banyak tingkah, Ryan!" bentak Anita.

"Zeline, kamu bisa bantu aku, 'kan?"

Zeline yang dari tadi hanya menjadi penonton gelagapan. Ia tidak pernah mendapat tatapan sedalam itu dari Ryan. "I-iya, bisa."

"Tidak usah merepotkan orang lain, Ryan!" sembur Anita. "Siapa juga dia!" Ia terdengar sinis.

"Zeline pacarku, Ma. Biar dia yang bantu biar Mama nggak repot," pungkas Ryan.

Mata Zeline membesar mendengar perkataan Ryan. Kalau saja atmosfer kamar itu tidak dingin berkat sikap Anita, maka Zeline pasti sudah melompat kegirangan.

"Tante, biar aku ...," ucap Zeline yang langsung terpotong karena Anita melempar gunting di lantai begitu saja.

Zeline telaten membersihkan luka di sepanjang lengan Ryan. Jaket dan kaos Ryan memang robek tadi, entah tergores di mana. Mereka terdiam, asyik dengan pikiran masing-masing.

"Masih ada yang luka?" tanya Zeline selesai memasang perban seadanya. "Kamu harus ke dokter, Ryan. Bagaimana kalau lukamu ternyata serius?"

Ryan menggeleng pelan. Ia tersenyum kecil pada Zeline dan mengucapkan terima kasih. Gadis itu langsung terpaku pada senyum yang pertama kali ia lihat. Lelaki bodoh macam apa Ryan itu, ia memiliki senyum yang sangat indah, tetapi selalu disembunyikan.

Entah apa yang menarik dari jendela itu, di sana yang tampak hanya pohon dengan daun rimbun yang sepertinya berada di belakang rumah. Namun, tatapan Ryan terus tertuju di sana, membuat Zeline merasa seperti patung yang terus berdiri di sana.

Zeline terus mengamati Ryan. Lelaki itu menyimpan banyak misteri. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepal Zeline, tentang ketidakwarasan lelaki itu, juga gurat luka dalam setiap tatapannya.

"Kenapa kamu menolongku?" tanya Ryan tanpa menatap Zeline.

Zeline menjawab singkat bahwa karena itu Ryan. Ya, kalau saja itu bukan Ryan, ia tidak akan peduli. Bakan jika orang satu-satunya yang bisa menolong adalah dirinya, ia tetap tidak akan peduli, terlebih pada kecelakaan motor.

***

When I See You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang