Ransel telah tersampir di punggung Ryan. Helm birunya ia ambil, ditenteng keluar dari rumah. Ia kembali lagi ke salah satu rak tempat sandal rumah yang di atasnya ada gantungan tempat kunci. Di sana, ia biasa menyimpan kunci motor. Namun, kunci itu tidak ada.
Semalam Ryan menyimpan kunci motornya setelah menutup pintu. Ia tidak mungkin salah ingat. Mungkin lupa mencabut dari motor karena tergesa-gesa. Entah? Ia pun memutuskan untuk keluar memeriksa. Namun, keningnya mengerut melihat Rey sudah ada di atas motor.
"Cepat naik!" suruh Rey menepuk jok di belakangnya.
"Kenapa kamu di motorku?" Ryan maju dan menarik lengan Rey untuk turun. Namun, kakaknya itu bersikeras untuk mengantarnya ke kampus.
"Aku mau cari kerja, ribet kalo naik mobil." Itu alasan Rey, seakan Ryan bodoh. Ia tahu bahwa kakaknya itu sudah siap memulai bisnis baru di bawah nama perusahaan ayahnya.
Sepanjang jalan, Ryan hanya diam dan menatap ke samping. Samar ia dengar Rey yang berusaha mengobrol dengannya. Tidak ada yang perlu mereka obrolkan. Seingatnya, Rey tidak pernah suka dengannya sejak kecil. Untuk apa sekarang mereka harus berusaha mendekatkan diri?
"Nanti siang aku jemput jam berapa?" Pertanyaan itu menguap di udara tanpa jawaban. Ryan sudah berbalik dan melangkah cepat tanpa membuka helm. Lelaki itu berjalan tidak peduli jika ia menjadi pusat perhatian berkat helm di kepalanya.
Helm itu baru dilepas setelah Ryan duduk di bangku. Topi yang selalu disimpan di dalam ransel dipasang cepat. Ia lama tertunduk, sebelum mendongak pada bangku Zeline yang dikiranya masih kosong seperti awalnya masuk. Namun, gadis itu sudah duduk di sana mengenakan blouse monokrom berkerah sabrina.
Biasanya, Zeline selalu datang menghampiri Ryan. Sekadar menyapa atau hanya untuk memberi senyum. Tatapan Ryan masih tertuju pada Zeline saat gadis itu berbalik. Tatapan mereka bertemu sebentar, sebelum Zeline membuang muka sambil mencebik.
Hidup adalah hal yang tidak akan dimengerti oleh siapa pun. Kemarin mereka menikmati hari. Membolos dan berkendara bersama. Namun, untuk alasan yang tak jelas, Zeline menjauh.
Ryan tidak mengerti. Mungkin ia seburuk dalam pikirannya, hingga semua orang yang ada di dekatnya selalu menarik diri. Tidak. Jika semua orang menjauh pun, ia tidak lagi peduli. Kecuali Zeline. Ia sudah meminta gadis berambut panjang itu untuk mundur, tetapi bersikeras untuk tetap di sisinya.
Sepanjang mata kuliah berlangsung, Ryan terus mencuri pandang pada Zeline. Ia bahkan sempat kena teguran oleh dosen yang sedang menjelaskan tentang hubungan antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara.
Saat itu Zeline sempat berbalik padanya, menatap dengan raut yang tak terbaca oleh Ryan. Tanya tentang perubahan sikap itu membuat Ryan tidak mencatat satu materi pun. Konsentrasinya tidak lagi berada pada mata kuliah itu. Tidak ada bedanya saat mata kuliah selanjutnya berlangsung. Ia sering menunduk, merasa gelisah. Tangannya sesekali saling meremas atau digosok-gosokkan di paha untuk mengeringkan keringat yang mulai muncul.
Jam istirahat tiba. Riuh mulai menggema. Kebanyakan penghuni kelas itu keluar. Ryan masih memandang ke arah Zeline yang di sampingnya ada Karina dan Tika. Saat tiga sekawan itu melangkah untuk keluar dari kelas, Ryan berdiri dan cepat menyamai langkah tiga gadis itu.
"Zeline!" Ryan menahan lengan Zeline. Ia tidak melepas, meski Zeline meronta dan membentak.
"Kamu budek, ya? Zeline minta dilepas!" sembur Tika bersedekap.
"Ryan, Zeline dilepas, ya! Nanti kulit mulusnya lecet, dia makin ngambek." Karina berusaha lebih tenang.
Pelan, pegangan Ryan di lengan Zeline terlepas. Ia menatap pacarnya itu di balik pad topi. Sementara, Karina menarik-narik kaos Tika, memberi tanda untuk meninggalkan pasangan yang sepertinya sedang ada masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...