Lelaki itu menekan pad baseball cap-nya. Ia menunduk menyusuri koridor lantai tiga kampus itu. Ini hari ke-tiganya di kampus. Tidak bisa dianggap mahasiswa baru, karena ia sudah terdaftar sebagai mahasiswa sejak empat tahun yang lalu. Banyak seangkatannya yang sudah lulus. Namun, ia harus memulai lagi di semester empat setelah mengambil cuti selama empat semester.
Ryan--lelaki itu--terus menunduk, takut menatap ke arah orang-orang yang memandang padanya. Degup jantungnya berpacu kencang. Keningnya pun mulai basah. Bisikan-bisikan agar ia segera berlari memenuhi benaknya. Ia mempercepat langkah, mencari ruangan H17, tempat ia mengikuti pelajaran dari dosen Pengantar Hukum Indonesia.
Samar Ryan dengar percakapan dan tawa orang-orang di sampingnya. Mereka mengolok-oloknya, mengatai dengan kata kasar. Jantungnya semakin kencang, juga napas mulai tersengal-sengal. Suara-suara itu terus mengikuti, tidak peduli ke mana ia pergi.
Tangan Ryan saling meremas. Ia menatap ragu pada pintu cokelat di depannya. Di dalam sana, ada banyak orang, dan setiap kali masuk ke sana puluhan pasang mata selalu menjadikannya pusat perhatian.
Ia terkesiap merasakan lengannya digelayuti.
"Hai, Sayang!" sapa gadis dengan senyum yang menurut Ryan tak tahu malu.
Ia langsung mendorong gadis itu menjauh. Ia tak suka bertemu dengan orang lain, dan gadis itu berada di daftar teratas yang tak ingin ia temui.
***
Zeline mematut diri di depan cermin. Polesan lipcream nude dan liptint merah membentuk ombre di bibir penuhnya. Ia membuat gerakan mencium pada cermin sembari mengedipkan satu mata. Dalam hati ia memuji wajahnya yang diciptakan sangat sempurna. Ia sebenarnya heran, mengapa Tuhan tidak adil mencipta manusia sempurna sepertinya, sementara banyak orang lain yang ... jelek.
"Matanya biasa aja, Pak Kus!" ketus Zeline pada sopir pribadinya yang sesekali mencuri pandang pada kaca mobil. "Aku tau kalau aku ini perempuan paling cantik yang pernah Pak Kus lihat. Tapi, sadar posisi dan usia, dong!"
Pak Kus yang sedang menelan ludah, langsung terbatuk-batuk karena tersedak. Ia sudah terbiasa dengan sifat anak majikannya itu, tetapi tetap saja ia selalu bergidik ngeri mendengar ucapan gadis muda itu.
"Tuh, jadi batuk. Makanya, jangan suka curi pandang gitu." Zeline menepuk-nepuk pipinya pelan.
Zeline tak sabar tiba di kampus. Ia sudah merindukan kekasih hatinya--Ryan--lelaki yang memenuhi benaknya selama tiga hari ini. Sayang, lelaki tampan itu terlalu minder akan kecantikan Zeline hingga malu untuk sekedar menatapnya. Tak apa, ia yakin bisa membuat Ryan membuang rasa minder itu. Ia mendengkus kesal, ternyata menjadi cantik itu susah.
Pinggul Zeline berlenggak-lenggok bagai model di atas runaway menyusuri jalan menuju kelas. Ia tak pernah seantusias ini selama dua tahun di kampus. Membayangkan wajah Ryan saja, membuat adrenalin mengalir deras dalam tubuhnya.
Sesekali ia mengibas rambut cokelatnya ke kanan atau kiri, menampilkan wajah cantik dan leher jenjangnya pada semua orang yang melihat. Ia adalah Zeline Anulika Diratama, gadis cantik yang harus menjadi pusat perhatian.
Mata Zeline membesar. Mulutnya pun membuka saat melihat lelaki yang sedang berdiri di depan pintu. Meski dari belakang, ia tahu siapa pemilik bahu selebar samudera itu. Lelaki yang selama tiga hari di kampus selalu mengenakan kaos berwarna hitam, juga topi untuk menutupi sebagian wajahnya.
Senyum merekah di bibir Zeline. Ia yakin bahwa Ryan pasti sedang menunggunya. Dasar lelaki aneh. Seharusnya, Zeline-lah yang malu-malu kucing, mengingat ia perempuan.
Zeline berlari pelan dan menyisipkan tangan ke lengan kanan Ryan. Saat lelaki itu berbalik, senyum Zeline makin merekah.
"Hai, Sayang!" sapanya mengedipkan satu mata pada Ryan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...