Keringat mengucur di kening Zeline. Jemarinya menggenggam erat pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Gumaman tak jelas terdengar. Sesekali ia melenguh dan meringis. Kepalanya pun bergerak-gerak gelisah.
Satu nama keluar kelas dari mulut Zeline. Ia terus memanggil dalam tidurnya. Hingga mata cokelatnya yang bening membuka lebar. Ia terengah-engah seakan baru saja lari maraton.
Zeline berdiri di depan cermin wastafel. Kedua tangannya memegang erat sisi wastafel yang terbuat dari porselen berwarna putih dengan motif floral. Ia menggosok mukanya berkali-kali. Bayangan tentang mimpinya masih menghantui. Setelah sekian lama, masa lalu yang kelam itu kembali menyeruak. Menyentuh batas terluar pikirannya hingga sukar untuk hilang.
Ketukan di pintu kamar membuat Zeline mendongak. Menatap pantulan wajahnya di cermin. Senyum terulas di sana, seakan tidak terjadi apa-apa. Satu tarikan napas panjang dan diembuskan perlahan dari mulut, lalu keluar untuk membuka pintu.
Senyum indah yang selalu Zeline rindukan ada di depannya. Sontak, ia menutup pintu lagi. Berlari menuju depan meja rias sambil mengumpati diri. Mata bengkak dan rambut acak-acakannya pasti sudah terlihat oleh Ryan. Wajah yang tadi ia cuci pun belum dikeringkan.
Pakaian tidur Zeline telah diganti dengan pakaian olahraga; dalaman tank top putih dan dipadu crop hoodie abu-abu yang bagian atas dan lengannya menerawang, legging tiga perempat hitam, dan sepatu senada dengan hoodie-nya.
Sebelum keluar, Zeline mematut diri lagi di cermin. Ia memoleskan pelembab di bibir merahnya. Riasan natural tampak indah di wajahnya. Rambut panjangnya yang dikuncir, ditarik-tarik pelan untuk menghilangkan gugup. Ia masih tidak menyangkan Ryan bisa berdiri di depan kamarnya dan melihat betapa hancur wajah bangun tidurnya.
"Hai," sapa Zeline begitu membuka pintu dan mendapati Ryan masih berdiri di sana dengan jaket length-weight biru dan celana training hitam.
Tidak sempat membalas, lengan Ryan sudah ditarik oleh Zeline untuk segera pergi.
"Sarapan dulu," ajak Riani dan ditolak langsung oleh putri semata wayangnya.
Ryan sempat pamit pada orang tua Zeline sebelum keluar dari rumah itu. Rumah Zeline tidak lebih besar dari rumah orang tuanya. Ayah Ryan adalah pengusaha besar, sedangkan ayah Zeline adalah seorang pengacara yang memiliki firma hukum yang cukup laris digunakan oleh banyak kalangan.
"Kamu nggak apa-apa, di sini ramai?" tanya Zeline menatap taman yang biasa mereka datangi penuh oleh orang yang sedang berfoto ataupun berlari di sekitar trail yang disediakan oleh pengelola. Ada juga anak-anak yang bermain ditemani orang tuanya.
"Ada kamu," jawab Ryan tersenyum pada Zeline untuk meyakinkan.
Mereka mulai berlari beriringan mengelilingi pepohonan dan danau. Belum satu putaran, Zeline sudah mengeluh lelah. Saat diminta untuk istirahat di gazebo yang tersedia, gadis itu menolak. Ia hanya ingin istirahat saat Ryan ikut istirahat.
"Satu putaran lagi, yakin bisa?" Pertanyaan Ryan diangguki oleh Zeline. Mereka pun lanjut berlari, tetapi lebih pelan.
Saat melewati area bermain, seorang anak terjatuh tidak jauh dari mereka. Kaki Ryan kaku di sana. Anak lelaki itu menangis memegang lutut. Seorang perempuan muda menghampiri sang anak, menggendong dengan sayang dan menghibur.
"Kenapa berhenti? Ayo, sedikit lagi kita bisa istirahat!" rengek Zeline yang tidak tahu arah tatap Ryan masih tertuju pada ibu dan anak itu.
"Bagaiman rasanya?" tanya Ryan membuat kening Zeline mengerut. "Bagaimana rasanya jadi anak itu?"
Zeline memandang anak lelaki yang masih menangis di gendongan ibunya. Ia tadi melihat anak itu berlari-lari hingga jatuh, ia pun menjawab, "Tentu saja sakit. Tuh dia nangis."
Ryan tertawa kecil. Tangannya menepuk-nepuk puncak kepala Zeline. Pacarnya itu mungkin memang tidak mengerti maksud pertanyaannya. Ia penasaran bagaimana rasanya memiliki ibu yang penuh kasih sayang seperti ibu anak lelaki itu. Ingatan masa kecil Ryan menyambangi, ia sama sekali tidak pernah tahu rasanya digendong atau dibelai.
Mereka duduk di gazebo yang berada di pinggir danau. Kaki mereka lurus dan sesekali di pijat-pijat perlahan. Sudah lama Zeline tidak pernah olahraga. Berbeda dengan Ryan yang rutin berolahraga di taman belakang rumah karena disarankan oleh psikiaternya.
"Iyan, kamu beneran nggak ingat sama Tika?" tanya Zeline yang dulu sudah pernah ia tanyakan. Jawaban Ryan masih sama, ia tidak mengenal, atau lebih tepatnya tidak mengingat siapa Tika.
"Katanya kamu itu playboy waktu masih SMA," papar Zeline setelah Ryan bertanya tentang hal yang diceritakan Tika padanya.
Kening Ryan mengerut, lalu menyangkal, "Playboy dari mana, pacaran saja tidak pernah."
Zeline menangkupkan tangan, lantas diletakkan di pipi kanan. Ia senyam-senyum, tersipu. "Jadi, aku pacar pertama kamu, dong."
"The one and only," tukas Ryan membuat Zeline langsung bersandar di bahu lelaki itu. Pipi putihnya makin merona. "Iyan, kamu romantis banget. Bikin gemes."
Ryan tersenyum simpul, tatapanya lurus ke depan, memutar memori tentang masa SMA. Saat ia masih bisa memalsukan senyumnya. Waktu di mana ia masih berusaha, meski tidak pernah dianggap.
"Dulu, aku menganggap semua perempuan sama seperti Mama," tutur Ryan tiba-tiba, membuat Zeline yang masih bersandar di bahu lelaki itu keheranan.
"Aku memperlakukan mereka seperti Mama, menurut dan menyayangi. Setiap mereka tersenyum, seperti Mama yang tersenyum padaku," tambah Ryan yang makin memperdalam kerutan di kening Zeline.
"Mama nggak pernah peduli sama aku. Nggak pernah senyum. Saat melihat senyum orang lain, aku sedikit terhibur."
Kepala Zeline menjauh dari pundak Ryan. Ia menoleh pada wajah yang menatap lurus ke arah danau. Meski ia tahu bahwa pikiran lelaki itu tidak berada di genangan itu.
"Itu sebabnya kamu tidak pernah menolak perempuan yang mengajakmu kencan?"
Ryan mengangguk. "Kencan? Bukan, bagiku itu hanya ramah-tamah. Aku senang kalau mereka senang."
"Tapi, mereka jadi salah paham dan anggap kamu tukang PHP," rutuk Zeline. Ia sebenarnya kesal dengan pengakuan Ryan. Kalau saja tidak ingat bahwa mental lelaki itu terluka, maka akan ia omeli.
Ryan mengaku bahwa ia salah. Sungguh naif jika ia tidak tahu maksud perempuan-perempuan itu. Namun, ia hanya mencari sedikit kesenangan. Bukan berarti mempermainkan hati orang adalah kesenangan baginya. Ia hanya merasa berguna, merasa diperhatikan, merasa disayangi, dan merasa ... diinginkan.
Bagi Ryan, ibunya adalah cinta pertama. Tempat di mana segala rasa bermuara. Ia rela melakukan apa pun untuk perempuan yang memberinya kehidupan. Meski kerap kali mendapatkan penolakan dan perlakuan buruk, ia tetap mencintai ibunya. Tetap menjadikannya sosok yang dihormati.
"Katanya surga di bawah telapak kaki ibu," sebut Ryan. Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Mungkin aku tidak memiliki surga lagi."
Setetes air mata yang lolos dari pelupuk Ryan tidak luput dari pandangan Zeline. Ia segera meraih jemari Ryan yang mendingin. Ingin menghibur, tetapi tidak tahu harus berkata apa.l
"Kamu tau, Mama sangat benci sama aku untuk alasan yang sama sekali bukan salahku."
Senyum miris terulas di bibir Ryan. Ia ingat semua ujaran dan perlakuan ibunya yang penuh kebencian. Ia ingin melupa, tetapi tidak bisa.
Zeline memeluk Ryan, tidak peduli tempat itu ramai. Ia ingin berkata bahwa ia tahu, bahwa ia mengerti. Namun, ia tidak mau berbohong, karena sebenarnya ia tidak tahu dan tidak mengerti perasaan Ryan. Tidak ada orang yang bisa tahu dan benar-benar mengerti perasaan orang lain, itu yang diketahuinya.
"Kamu boleh nangis, Iyan. Kamu punya aku. Hal buruk nggak usah diingat lagi!" hibur Zeline. "Aku cinta kamu."
*.*.*.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...