Dosen yanga mengajar di kelas Zeline baru saja keluar. Sudah dua mata kuliah yang lewat dan kebetulan mata kuliah ketiga kosong. Perempuan ia menggesernya kursinya lebih dekat pada Ryan.
"Ayang, kita langsung pulang atau kamu mau jalan dulu?" tanya Zeline.
"Aku ada kelas Pak Jono. Harus ikut di kelas sebelah," jawab Ryan.
"Aku ikut deh kalau begitu, Pak Jono juga nggak hafal kok sama mahasiswanya," putus Zeline.
"Nggak usah, Sayang. Nanti kamu cuma bosan di dalam. Lagian nanti kalau kamu nggak mencatat dan dilihat sama Pak Jono pasti akan ditanyakan nama, terus ketahuan deh kamu dari kelas mana. Kamu tunggu di sini aja, ya. Atau nongkrong dulu sama Tika dan Kareena," terang Ryan.
Zeline mencebik, tapi tidak memiliki pilihan lain. "Ya udah, deh, kalau kamu udah selesai hubungi aku, ya."
Ryan mengangguk, ia tersenyum tipis pada Zeline sambil memegang pipi kekasihnya itu. Lelaki itu pun berdiri dan membawa tasnya utnuk keluar dari kelas. Saat Zeline menoleh ke samping, ia melihat Tika dan Karina sudah menyampiskan tas mereka.
"Woii! Kalian mau ke mana?" tanya Zeline.
"Mau ke kafe sebelah. Baristanya gaunteng poll," seru Kareena.
"Tungguin, aku mau ikut," sebut Zeline.
Tika mengerutkan keningnya. "Bukannya kamu tadi bilang mau bareng Ryan?"
Zeline berdiri, meninggalkan tempatnya dan berjalan ke dekat kedua temannya. "Ayangku lagi ada kelas sama Pak Jono."
"Tumben kamu nggak ikut. Itu kan kelas Pak Jono?" tanya Tika.
Zeline tersenyum centil. "Gimana, ya, Ayangku itu orangnya perhatian banget. Dia nggak mau aku capek mencatat. Jadi, dia minta aku nunggu di luar aja," jawabnya. "Tai kenapa kalian nanya-nanya gitu, kayak nggak mau banget kalau aku ikut kalian."
"I-ih. nggaklah, kapan kita kayak gitu?" sebut Karina. "Kita nggak ngajak kamu karena agend akami adalah mengintip ketampanan duniawi dari barista Leo," jelasnya.
"Secara kamu nggaka kan peduli denagn si tampan Leo jadi kami nggak mikir untuk ngajak gitu, loh," tambah Tika.
Zeline menyampirkan sebagian rambutnya ke telinga. "Aduh, kalian ini kayak nggak kenal aku aja. Justru kalau kalian mau lihta cowok tampan, ya, ajak aku. Masalahnya mata kalian itu seleranya agak rendahan, nggak bisa melihat dengan benar yang mana cowok yang B aja sama yang mana cowok yang benar tampan."
"Iya, deh, iya, si paling selera tinggi," rutuk Karina.
Zeline melipat kedua tangnnya di depan dada dan berkata dengan bangga, "Iya, dong, jelas."
Tika menggamit lengan kedua temannya. "Udah, ayo cepetan kita ke sana. Lebih cepat lebih baik, biar kita bisa lama-lama cuci mata dengan ketampanan Leo."
Kafe itu berada tepat di depan kampus. Bergaya modern dengan warna didominasi putih dan perbaotnya didominasi cokelat. Tiga serangkai itu memilih duduk di kursi yang ada di depan bar barista. Biasanya itulah spot yang dipilih cewek-cewek yang menggemari Leo. Kebetulan hari itu belum ramai karena masih jam kuliah dan mereka kebagian kursi itu.
"Lihat, kan, ganteng banget. Udah kayak Jongkook, mana tangannya juga tatoan lagi," desis Karina.
Zeline menatap barista yang bernama Leo itu. Ia mengangguk-angguk pelan, "Lumayan lah, ya. Tapi kalau dibandingkan sama Ayangku tetap aja dia kebanting, sih."
"Ah, nggak deh, yang ini lebih ganteng daripada Ryan," ucap Tika.
Zeline menlah kepada Tika dan melotot. "Enak aja, Ryan itu cowok yang paling tampan sedunia, titik."
"Tapi, itu, kan menurut kamu. Kalau menurut kami, nih, ya, yang ini lebih ganteng satu tingkat," tambah Karina.
Zeline memutar bola matanya. "Emang, ya, mata kalian itu harus dicek ke dokter biar bisa menilai cowok ganteng tuh kayak gimana."
Sementara ketiga perempuan itu berdebat mengenai siapa yang lebih tampan, Leo yang menjadi salah satu pembahasan mereka sedang sibuk meracik minuman pesana tiga orang pelanggannya itu. Sesekali ia melirik ke raah ketiganya dan berhenti lama kepada Zeline. Tiba-tiba saat ia melirik lagi, kebetulan Zeline juga sednag melihat ke arahnya. Tampak jelas Zeline menatapnya dengan wajah tak suka. Leo pun kembali fokus pada grinder kopinya.
Setelah selesai menyiapkan tiga minuman pesanannya, Leo menyajikannya kepada tiga pelanggannya yang duduk di kursi depan meja bar.
"Selamat menikmati," ucap Leo ramah, lantas mengulas senyum yang membuat Tika dan Karina terpana.
Berbeda dengan kedua temannya yang terpesona dengan wjaha Leo, Zeline justru memicing menatap Leo.
"Tadi kayaknya kamu pandangin aku, lirik-lirik gitu. Aku emang cantik, sih, tapi nggak suka kalau kamu lirik-lirik kayak, gitu," tuduh Zeline pada Leo.
Mendengar ucapan Zeline, Leo terperanjat. Ia tidka tahu kalau ada perempuan seperti Zeline yang sangat percaya diri. Sementara itu, Karina langsung menyiku Zeline.
"Maaf, ya, temanku emang agak-agak," ucap Tika kikuk.
Zeline mengangkat satu sudut bibir atasnya. "Emang benar, kok tadi curu-curi pandang gitu sama aku," jelas Zeline, ia berlaih lagi kepada Leo. "Jangan-jangan kamu suka, ya, sama aku. FYI aja, nih, ya, aku udah punya pacar dan dia jauh lebih ganteng daripada kamu. Jadi ...."
Ucapan Zeline terputus setelah Tika membekap mulutnya.
"Maaf, ya, silakan lanjutkan pekerjaan kamu. Temanku emang baru keluar dari rumah sakit jiwa," sebut Karina. "Tik, ayo pindah," ajaknya.
Leo kembali ke posisinya utnuk membuat pesanan lain dengan pikiran yang masih belum menyatu. Ia belum pernah menemukan perempuan seperti Zeline yang sangat blak-blakan. Selain itu, ia juga belum pernah bertemu permepuan yang protes karena dilirik, biasanya kalau tidak menggodanya, maka permepuan itu akan tersipu malu. Perlahan senyum tipis muncul di wajah Leo.
Lantaran malu kepada Leo, Tika dan Karina terpaksa merelakan diri untuk pindah ke sudut ruangan yang agak jauh dari tempat mereka sebelumnya.
"Ih, Zeline mah ngacauin aja kerjanya," protes Karina.
"Ngacauin apa, sih? Emang aku jujur, kok, kalau dia lirik aku tadi. Lagian, nih, ya, mana ada cowok yang nggak ngelirik aku yang cantik ini," balas Zeline.
"Iya deh iya, terserah kamua jalah. Tapi lain kali kalau ke sini jangan kayak gitu lagi. Anggap aja kamu nggak lihat. Kan, kita jadi gagal fan girling-nya," sebut Tika.
Mereka lanjut mengobrol tentang hal lain samapi tidak sadar bahw amereka telah sangat lama di sana. Dari awlanya segelas minuman, kemudian menambah lagi minuman dan snack lainnya.
"Tapi, gila, sih, rasanya gue mumet banget mikirin tempat buat magang nanti. Apa enaknya di kantor notaris aja, ya," ucap Karina.
"Masih ada dua semester lagi kali, Karin. Tapi aku, sih, maunya di kejaksaan atau atau pengadilan agama," timpal Tika. "Kamu mau di mana, Zel?"
"Ke mana pun Ayang pergi, di situ aku akan ikut," jawab Zeline.
"Bisa nggak, sih, kamu ngelakuin sesuati tanpa bawa-bawa Ayang?" sebut Karina.
Zeline memiringkan kepalanya ke arah Karina. "Nggak bisa, aku dan Ayang udah sepaket yang nggak bisa dipisahkan. Kayak gorengan ama minyak."
"Tapi, ama kita pisah sih magangnya. Enaknya tuh kalau bareng, terus ada Ryan juga, mantap," tutur Karina.
"Memangnya kenapa kalau ada Ryan?" tanya Tika.
"Ryan itu anaknya pintar dan rajin. Kalau ada laporan dan lain-lain, kan, bisa di yang kerjain," jawab Karina.
Zeline mengambil satu kentang goreng dna melemparkannya pada Karina. "Enak aja kamu mau memnfaatkan Ayang Iyan, dasar kamu!"
"Mau gimana lagi, pacarmu itu emang mau-mau aja, kok, dimanfaatin."
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...