Aku hanya Ingin Sebuah Keluarga

130 21 13
                                    

Zeline masih bergelung di dalam selimut. Sesekali terdengar ringisan pelan dari gadis itu. Pegal menyerang seluruh anggota gerak bagian bawahnya. Seakan otot-ototnya habis dipukuli.

Cahaya matahari telah masuk melalui kaca jendela yang telah disingkap oleh ibu Zeline pagi tadi. Gadis itu bahkan sudah dibangunkan agar segera ke kampus. Namun, pegal itu menghalangi niat Zeline ke kampus. Lupakan rindunya pada Ryan, yang ia butuhkan hanya berbaring.

Selain itu, kalau buka karena Ryan, maka ia tidak mungkin semenderita sekarang. Tungkainya bahkan terasa sangat berat saat ia coba mengangkat. Zeline membolos lagi. Sudah tiga kali ia membolos bulan ini. Ia hanya berharap dosennya tidak memberi nilai eror di semester ini. Ia tidak suka jika harus mengambil semester pendek.

"Non, dipanggil sarapan." Suara Bik Sari terdengar bersama dengan ketukan di pintu.

Tubuh kesakitan itu beringsut turun dari ranjang. Ia mengangkat kaki pelan, tampak aneh. Sepanjang jalan menuju kamar mandi, ia meringis. Andai tahu, ia tidak akan berlari di taman kemarin. Setidaknya, akan peregangan atau pemanasan dulu. Hanya di putaran, tetapi dengan taman yang luas, cukup melelahkan.

Habis jogging, Zeline dan Ryan makan di tempat sup daging langganan Ryan. Zeline terlalu lemah jika menyangkut keinginan pacarnya itu. Meski sudah berkata tidak akankah menginjak kedai itu, nyatanya ia ikut juga.

"Kamu nggak ke kampus?" tanya Arfandi yang sudah siap untuk bekerja. Zeline mengangguk dan memeluk ayahnya. "Pantas saja, pacarmu itu tidak datang," tambah Arfandi.

"Hati-hati ya, Pa," ucap Zeline setelah melepas pelukan pada ayahnya. Lantas, ia melanjutkan langkah menuju meja makan. Ada roti bakar dengan selain kaya kesukaan Zeline. Ada sosis panggang dan asparagus di sampingnya. Semua seperti pesanannya pada ibunya semalam.

"Bik, Mama mana?"

"Tadi cuma bilang mau keluar, Non," jawab Bik Sari yang sibuk merapikan meja makan. "Kaki Non kenapa?"

"Sakit, Bik. Habis lari-lari kemarin," keluh Zeline memukul-mukul pahanya.

Bik Sari meletakkan piring di meja kembali. Ia meminta Zeline ikut ke kamar. "Nanti Non Zeline berendam sebentar dulu. Biar nanti nyeri ototnya hilang."

Zeline menurut. "Berapa lama, Bik?"

"Lima belas menit," jawab Bik Sari sebelum keluar meninggalkan Zeline yang mulai masuk dalam air hangat yang sudah diberi garam khusus untuk rendaman mandi.

*.*.*.

Ryan masih tertawa saat menutup panggilan video dari Zeline. Bukannya kasihan ia justru merasa lucu melihat wajah gadis yang bertingkah seakan sakitnya parah.

Jalanan cukup ramai, hingga Ryan dengan lincah menyalip kanan dan kiri. Zeline mengaku lapar dan meminta burger di salah satu restoran cepat saji yang ada di dekat rumahnya. Anehnya, dari banyaknya cabang yang ada di Jakarta, Zeline hanya mau yang ada di tempat itu. Tempat yang sama sekali tidak memiliki Drive thru, yang berarti Ryan harus turun dari motor, masuk dan mengantri di dalam restoran.

Restoran itu cukup ramai, maklum sedang jam makan siang. Tiga kasir melayani dengan lincah barisan orang yang mungkin kelaparan. Ryan memasang topi sebelum ikut dalam antrian yang ada tiga orang di depannya. Ia sengaja memberi jarak yang cukup lebar. Setidaknya, ia sekarang bisa berdiri dengan rasa nyaman di samping orang lain, tidak seperti dulu. Kehadiran Zeline membawa banyak perubahan dalam hidupnya.

Satu plastik berisi paperbag cokelat ditenteng oleh Ryan. Disampirkan di setang motor, mirip pengemudi ojek online yang melayani pesan antar. Menyalip kanan-kiri lagi agar makanan yang dipesan Zeline tiba dalam kondisi hangat.

When I See You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang