Labirin Hati

126 24 0
                                    

Jingga di ufuk timur baru menyapa, Zeline sudah bangun dan bersiap setelah semalam menyiapkan barang yang akan ia bawa. Kemarin ia dan Ryan sudah menyusun rencana untuk liburan ke Puncak. Menurutnya, Ryan butuh Susana baru dan lebih segar untuk menghibur diri. Ia berharap dengan begitu kekasihnya bisa lebih terbuka dan sedikit demi sedikit pulih luka hatinya.

Mereka akan berangkat pagi-pagi karena tidak mau terhalang oleh macet. Zeline memakai jin ketat dan jaket kulit sebagai luaran. Di punggungnya tersampir ransel kecil yang berisi pakaian ganti. Sambil bersenandung ria, ia menuruni tangga dan langsung disambut boleh ibunya.

Riani menatap Zeline dari kaki hingga kepala. Ia mengernyit lantaran belum pernah melihat anaknya itu bangun pagi buta dan siap ke kampus.

"Aku sama Ryan mau ke puncak, ya, Ma." Zeline baru meminta izin karena semalam ketiduran setelah menelepon Ryan.

"Ke puncak? Bukannya kamu kuliah?"

"Nggak, kuliah lagi kosong."

Setelah mengetahui bahwa Zeline akan berangkat dengan motor, Riani meradang. Ia mengusulkan agar Zeline dan Ryan diantar sopir. Lebih aman dan nyaman. Namun, ditolak Zeline karena ia sudah lama ingin ke Puncak dengan motor. Dulu, Zayn berjanji akan membawanya dengan motor ke sana, tetapi takdir berkata lain.

"Kamu tau kenapa Mama nggak mau kamu naik motor." Riani tampak sendu.

"Aku tau, Ma. Tapi, tenang aja, Ryan gak balapan."

Riani memalingkan wajah, tidak ingin Zeline melihat air matanya yang mulai menetes. Ia tahu bahwa Zeline akan terluka lagi, dan ia tidak mau hal itu terjadi. Ia sudah mencoba untuk menekan perasaan sedih itu karena baginya kebahagiaan Zeline adalah yang utama. Namun, setiap kali melihat Ryan, ia teringat pada Zayn.

"Ryan udah datang," sebut Zeline, begitu mendengar suara motor Ryan.

"Pamit sama Papa dulu, biar Mama yang panggil Ryan masuk."

"Siap." Zeline melakukan gerakan hormat bendera pada ibunya.

Sementara Zeline beranjak ke kamar orang tuanya, Riani menyambut Ryan yang baru saja melepas helmnya. Perempuan itu tersenyum dan langsung menyapa Ryan.

"Selamat pagi, Tante," sapa Ryan, lalu mencium punggung ibu Zeline.

"Kenapa tiba-tiba mau ke Puncak? Padahal kalo kalian bilang, akhir pekan kita bisa pergi bareng."

"Lagi suntuk aja, Tan. Kemarin langsung kepikiran."

Riani menepuk-nepuk pundak Ryan dengan senyum merekah di wajahnya. Tampak Ryan yang seketika mematung, tetapi ada hangat yang menjalari tubuhnya.

"Hati-hati di jalan! Jangan ngebut-ngebut! Kalau sampai telepon, biar Tante nggak khawatir."

Ryan langsung mengiyakan. Ia juga berjanji akan menjaga Zeline dan membawanya pulang secara utuh. Riani merentangkan kedua tangannya, tersenyum, lalu memberi isyarat agar Ryan memeluknya. Sebenarnya, Ryan bingung kenapa ibu pacarnya itu tiba-tiba ingin memeluknya. Namun, Ryan suka pelukan itu, juga tepukan di punggungnya. Seperti dipeluk oleh ibunya sendiri. Ibu yang melihatnya saja tidak mau.

"Tante senang karena Zeline memiliki kamu untuk menjaganya," ungkap Riani, melepas pelukannya.

Ryan bisa merasakan ketulusan dari tatapan Riani. Senyum merekah di wajahnya bersama mentari yang mulai mengirim hangat di muka hari. Sejenak hilang duka yang selalu bersemayam salah hatinya, seolah-olah ia memiliki seseorang yang selalu berada di balik punggungnya. Seseorang yang akan menahannya jika hendak terjatuh.

"Sayang!" teriak Zeline centil, ia berlari pelan seperti anak kecil dan menggamit lengan Ryan. "Ayo kita pergi, nanti kena macet."

*.*.*.

When I See You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang