Anak-anak dengan seragam putih abau-abu keluar dari gerbang sekolah. Ada yang sendiri dan ada juga yang beramai-ramai. Ada yang langsung pulang dengan mobil sendiri, mobil jemputan, dan ada juga yanh masih nongkrong di sekitaran sekolah. Sekolah itu adalah sekolah Ryan saat masih SMA. Ia memiliki banyak kenangan indah di sana. Setidaknya saat itu ia masih Ryan yang selalu tersenyum dan bergaul dengan siapa saja.
Saat itu Ryan dan Zeline sedang duduk di kursi plastik milik Mamang penjual batagor yang dulu juga merupakan langganan Ryan ketika masih sekolah. Tidak seperti biasa, Zeline tidak menolak untuk makan batagor itu.
“Aku penasaran kayak gimana dulu saat kamu sekolah. Kamu sampai-sampai dicap playboy?” tanya Zeline.
“Kan sudah aku bilang, dulu aku baik sama semua cewek akrena menganggap mereka seperti Mama. Aku senang kalau mereka tersenyum. Tidak hanya sama cewek siswi sekolahku, aku juga baik sama semua kalangan usia,” jawab Ryan.
“Kamu nggak pernah jalan sama guru cewek atau tante-tante girang, kan?” rutuk Zeline.
“Tentu saja, nggak pernah. Kenapa pikiran kamu jauh banget, sih?” keluh Ryan, menggeleng-geleng pelan.
“Kamu sendiri yang bilang kalau kamu nggak bisa menolak kalau ada yang ajak. Siapa tahu aja gitu ada tante-tante girang yang ajak kamu hang out dan kamu setuju-setuju aja,” lontar Zeline, melirik Ryan tajam karena sedang cemburu.
Ryan yang sedang mengunyah batagornya menutup mulut karena terbatu-batuk. Setelah minum air kemasan gelas plastik yang diberikan Mamang Batagor, Ryan terkekeh menatap Zeline sebentar.
“Sayangku, aku emang bilang aku baik sama cewek-cewek, tapi aku nggak bilang kalau aku begok,” ucap Ryan. “Lagian, tante-tante girang juga nggak mungkin ajak aku hang out berdua karena aku dulu masih minor, masih di bawah umur.”
“Kalau sekarang, gimana?” tanya Zeline.
“Dulu aku cowok yang selalu available, tapi sekarang aku, kan eksklusif hanya milik Zeline seorang,” gombal Ryan.
Zeline mengoyang-goyangkan kepalanya dengan cepat sambil berkata dnegan centil, “Omo, omo, aigoo, jinja?”
Dua siswi yang sedang memesan batagor menatap Zeline dengan kening mengernyit. Bukannya merasa malu, Zeline justru menatap dua siswi itu. Tangan Zeline yang tidka memegang piring diletakkan di bawah dagu Ryan.
“Gimana, cowokku ganteng, kan? Kalian iri, kan?”
Kedua siswi itu saling menatap sebentar, kemudian melempar senyum kikuk kepada Zeline. Sementara itu, Ryan menusuk tahu dan mengarahkannya ke mulut Zeline.
“Ah, ayo makan, jangan ganggu mereka,” ucap Ryan.
“Aku kayak pernah lihat muka Kakak,” ucap salah satu siswi kepada Ryan.
“Modus, ya, kamu sama cowokku,” tuduh Zeline.
Siswi itu menggeleng. “Nggak, kok, emang bener. Aku kayak pernah lihat.” Ia menyiku temannya. “Iya, kan? Fotonya kayak terpajang di sekolah.”
Temannya langsung membalas, “Ah iya, bener. Foto Kakak ada di buku tahunan sekolah sama ada juga di ruang piala. Aduh siapa lagi namanya? Eh, Rianda?”
Zeline mencibir ke arah dua siswi itu. “Nama cowokku jangan diubah-ubah. Yang benar Ryanda, buakn Rianda.”
Kedua siswi itu nyaris melompat-lompat karena girang.
“Ya ampun, nggak nyangka banget bisa ketemu di sini. Tahu, nggak, Kakak itu udah kayak legenda sekolah, loh.”
“Iya, iya, katanya dulu Kakak itu pangeran sekolah dan sampai sekarang belum ada yang bisa geserin kepopuleran Kakak.”
Ryan hanya tersenyum kecil.
“Iya, dong, pacar siapa dulu,” sebut Zeline.
Salah satu siwi langsung merespons. “Nggak ada hubungannya sama siapa pacarnya juga, sih.”
“Kakak minta foto bareng, dong. Lumayan buat pamer di kelas,” pinta siswi yang satunya lagi.
Zeline melotot kepada kedua siswi itu. “Enak aja, nggak ada foto bareng. Sana jauh-jauh!”
“Ih, aku nggak minta sama Kakak, kok. Aku mintanya sama Kak Ryanda.”
“Idih bocil ini nantang juga,” seru Zeline. “Pokoknya nggak boleh. Dia ini eksklusif hanya punyaku seorang,”
“Maaf, ya, pacarku nggak beri izin,” ucap Ryan ramah, lalu tersenyum kepada kedua siswi yang sudah menenteng kresek batagor mereka.
“Aduh, loyal banget, kayaknya standar cowokku makin tinggi setelah ketemu Kak Ryanda,” ucap satu siswi.
Dan siswi lain menimpali, “Kami pamit duluan, ya, Kak. Kalau mislanya nanti Kak Ryanda putus sama cewek itu, bolehlah cari aku di sekolah.”
“Apa? Kalian cari mati, ya!” ancam Zeline.
Kedua siswi itu pun berbalik dan melangkah dengan cepat sambil cekikan setelah melihat wajah jengkel Zeline.
“Emang anak sekarang tuh nyebelin banget,” rutuk Zeline.
Ryan tertawa pelan melihat reaksi Zeline. “Kamu nggak sadar kalau kadang kamu lebih nyebelin dari mereka.”
Zeline meletakkan piringnya di kursi yang ada di sampingnya. Ia mengambil tas Ryan yang bersandar di kursi lelaki itu, memgeluarkan topi Ryan dan memaangkannya ke kepala Ryan.
“Pokoknya kamu nggak usah lepas topi lagi. Kamu juga harus balik ke mode cowok kulkas dua pintu. Nggak ada namanya senyam-senyum sama orang lain selain aku,” rutuk Zeline.
“Katanya aku nggak boleh sembunyiin mukaku yang ganteng, sekarang mau ditutupi topi lagi,” protes Ryan.
Zeline melipat tangan di depan dada dan memajukan bibirnya sebelum berkata, “Bodoh amat, aku nggak mau tahu. Pokoknya muka kamu yang ganteng dan senyum kamu yang manis eksklusif cuma buat aku, titik.”
Ryan memperbaiki letak topinya hingga saat ia menunduk, wajahnya nyaris tertutupi semua. “Siap, Tuan Putri. Pokoknya apa pun yang kamu mau pasti aku kabulkan.”
Zeline melirik Ryan. “Janji loh, ya.”
Ryan mnegangguk-angguk sebagai balasan.
“Kalau gitu habis ini kita mau ke mana?” tanya Zeline dengan nada ceria yang sudah kembali.
“Ke mana aja, tapi jam 5 nanti aku ada appointment sama psikiaterku. Obatku juga mau habis,” jawab Ryan.
Zeline menatap layar ponselnya. “Berarti dua jam lagi kita harus pisah, dong. Biasanya juga kamu temanin aku sampai malam.”
“Habis dari psikiater aku ke rumah kamu, deh. Sekalian aku jemput buat makan malam di luar, gimana?” usul Ryan.
Zeline mengangguk setuju. “Boleh, deh.”
Begitu Ryan menhabiskan makanannya dan membayar ke Mamang Batagor, ia dan Zeline pun meninggalkan tempat itu.
“Tapi, kamu ke psikiater sama siapa?” tanya Zeline begitu ia telah berada di boncengan Ryan.
“Apa?” tanya Ryan yang tidak mendengar pertanyaan Zeline dnegan jelas.
Ryan memelankan laju motornya agar bising knalpot dan deru angin tidak menghalangi pendengarannya.
“Kamu ke psikieter sama siapa?” ulang Zeline.
“Sendiri, sama siapa lagi?” jawab Ryan.
“Aku temani kalau gitu, ya,” tawar Zeline.
“Yakin? Aku kadang lama kalau konsultasi, bisa jadi ada tes juga.”
“Aku nggak suka menunggu, tapi demi Ayang Iyan, aku bisa menunggu seumur hidup.”
Ryan tersenyum lebar mendengar ucapan Zeline. Satu tangannya terlepas dari setang dan berpindah ke tangan Zeline yang melingkar di pinggangnya.
“Gimana? Boleh, kan?” tanya Zeline, memastikan.
“Tentu saja, boleh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...