Pagi yang cerah dan udara sejuk jalanan Puncak menyapa Zeline dan Ryan. Sudah saatnya mereka meninggalkan tempat itu dan kembali ke Jakarta. Motor Ryan melaju pelan membelah jalanan yang tidak begitu ramai itu. Tangan Zeline melingkar di pinggang kekasihnya dengan kepala yang disandarkan ke punggung Ryan, meskipun ia memakai helm.
Dua hari itu adalah hari yang indah bagi Zeline. Ia bisa bercerita tentang banyak hal kepada Ryan, begitupun sebaliknya Ryan yang menceritakan banyak hal kepadanya. Ia merasa bahwa Ryan makin terbuka dan merasa makin dicintai oleh lelaki itu. Namun, hal yang paling membuat Zeline senang adalah kenyataan bahwa Ryan bahagia. Ia bisa melihat senyum dan tawa Ryan sepanjang hari kemarin. Meskipun, wajah lelaki itu kembali ditekuk pagi tadi.
“Iyan, kamu kok dari tadi diam?” tanya Zeline setengah berteriak karena mereka di atas motor.
Tidak ada balasan dari Ryan. Lelaki itu hanya mengusap tangan Zeline di pinggangnya dengan menggunakan tangannya yang tidak memegang setir motornya.
“Iyan, kamu bete, ya, karena kita mau pulang?” tanya Zeline.
Kali ini Ryan mengangguk. Hal itu membuat Zeline mengeratkan pelukannya.
“Kamu boleh tinggal di rumahku dulu, kok. Kamu bisa istirahat seelum pulang ke rumah kamu. Mama sama papaku nggak akan marah,” ucap Zeline.
“Aku nggak apa-apa, kok,” balas Ryan, melepas usapannnya di tangan Zeline.
Lelaki itu kembali terfokus ke jalanan. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikir positif agar penyakitnya tidak kambuh. Sedikit saja ia mendapatkan trigger, ia takut akan kehilangan fokus, meskipun sudah meminum obat.
"Nanti kalau libur semester kita enaknya liburan ke mana? Ke Bali yang dekat-dekat atau kita ke luar negeri. Kan seru banget bisa sekalian tahun baru sambil main salju bareng, iya, kan?" celoteh Zeline.
Ryan masih terdiam. Ia berharap bahwa mereka masih bisa bersama bahkan dengan kenyataan bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab kematian kakak Zeline.
"Apa kita bisa istirahat Sheena?" tanya Ryan.
"Kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?" Zeline balik bertanya dengan rasa khawatir.
"Aku nggak apa-apa, tapi kayaknya aku ngantuk sedikit," jawab Ryan.
Motor Ryan berhenti di salah satu kedai yang cukup sepi karena mereka memang berada di jalanan yang area pemukimannya tak padat penduduk.
"Kita minum apa di sini?" tanya Zeline, menatap ke sekeliling kedai yang kecil dan tampak tak terawat itu.
Pemilik kedai itu pu telah sepuh. Seorang perempuan yang rambutnya nyaris telh memutih semua. Zeline agak ragu saat ingin duduk di kursi kayu yang telah tampak kusam. Ia menatap Ryan yang sudah duduk terlebih dahulu. Bibir Zeline maju dengan mata agak melotot. Dengan cepat Ryan membuka jaketnya, meletakkannya pada kursi di sampingnya.
“Udah, ayo duduk!” pinta Ryan.
Zeline menurut, meskipun sedikit ragu. “Kamu udah ngatuk banget, ya? Nggak bisa apa kita cari tempat yang sedikit lebih layak daripada di sini,” bisiknya kepada Ryan.
“Kalau aku sendiri, aku bisa aja lanjut bawa motornya. Tapi, aku bawa kamu. Aku takut hilang fokus di jalan dan kamu kenapa-kenapa. Udah terlanjur di sini juga, kan,” balas Ryan.
“Jang Kasep, Neg Geulis,” sebut pemilik kedai menyapa. “Hayang dahar?” tanyanya.
Ryan dan Zeline saling pandang karena sama-sama tidak mengerti dengan maksud ibu itu.
Ryan menggaruk tengkuknya. “Maaf, Bu, kami nggak mengerti.”
“Mau makan?” tanya ibu itu ulang dalam bahasa Indonesia.
Zeline langsung menggeleng. Ia tidak mungkin bisa menelan makanan apa pun yang disuguhkan di kedai itu.
“Ada apa aja, Bu?” tanya Ryan.
“Ada gorengan sama mi siram,” jawab ibu itu.
“Mi siram kalau gitu, Bu. Sekalian seporsi gorengan juga,” jawab Ryan.
“Minum apa? Mau kopi, teh, bajigur?”
“Teh tawar panas aja, Bu.” Ryan menoleh kepada Zeline. “Kamu mau minum?”
“Air mineral aja,” sebut Zeline mengangkat botol mineral yang ada di meja.
“Ibu siapkan dulu kalau begitu, ya. Aduh, Jang, meuni kasep pisan,” ucap si ibu sebelum masuk untuk menyiapkan pesanan Ryan.
Zeline melotot kepada Ryan. “Bukannya kamu ngantuk tadi?”
“Kayaknya aku lapar juga. Aku mau skalia makan,” sebut Ryan.
Zeline menoleh ke arah ruang dapur. Ia bisa melihat gerakan lambat pemilik kedai yang membuka bungkus mi untuk Ryan. Tampak pula olehnya perabot masak di sana yang hitam seperti tidak pernah digosok. Zeline pun menggeser kursinya mendekat pada kursi Ryan. Kepalanya condong ke raha kekasihnya itu.
“Kamu yakin mau makan? Lihat aja tempatnya jorok, nanti kamu malah sakit perut,” bisik Zeline.
Ryan tersenyum, lalu menggeleng. “Makanan ya dimakan, nanti urusan sakit perut urusan belakang. Yang penting enak.”
Bibir Zeline maju meniru bibir bebek dan memukul paha Ryan. “Ih, kamu itu nggak boleh makan sembarangan, kan. Kamu itu harus makan makanan yang sehat-sehat. Udah makan mi sama gorengan, tempatnya juga nggak higienis.”
“Sekali-kali doang, Sayang,” imbuh Ryan.
Zline memutar bola matanya. Tidak tahu lagi cara membujuk Ryan untuk tidak makan di tempat yang menurutnya sangat kotor itu. Sebab tenggorokannya yang kering, ia ingin minum. Ia berusaha untuk membuka tutup botol, tapi tidak bisa. Ryan pun langsung mengambil botol itu dari Zeline dan membukanya.
“Emang ya, kamu itu pacar serbaguna,” sungut Zeline, menyandarkan kepalanya di bahu Ryan.
“Minum dulu, haus, kan?” suruh Ryan.
“Aduh, aduh, aduh, kalau diperhatikan begini aku bisa jantungan,” balas Zeline, kemudian ia pun mulai meminum air mineral dari botol yang ia pegang.
Tidak lama, ibu pemilik kedai datang membawa makanan dan minuman yang dipesan oleh Ryan. Asap mi kuah soto di mangkok putih itu mengepul dan aromanya tercium oleh Zeline. Mi instan memang makanan yang tidak terkalahkan dan perempuan itu tidak mungkin menolak aromanya yang nikmat.
“Kenapa, mau?” Ryan menawarkan.
Zeline mnggeleng. “Nggak, aku nanti bisa minta dibuatin sama Mbak di rumah. Lebih enak, lebih bersih, dan topping-nya banyak.”
Ryan mengambil sebutir telur rebus dan membuka kulitnya. Ia tidak lapar sebenarnya. Ia singgah di tempat itu murni untuk istirahat dan minum segelas teh agar pikirannya lebih tenang. Namun, melihat ibu pemilik kedai ia tidak tega kalau hanya minum.
“Kamu yakin mau makan itu semua?” tanya Zeline saat melihat Ryan meeletakkan dua butir telur di atas mi instannya.
“Ini enak, lh, kamu yakin, nggak mau?” tanay Ryan.
“Makan aja sendiri, Sayangku. Kalau kamu kenyang aku juga udah kenyang,” ungkap Zeline.
Ryan tersenyum lebar sebelum mulai menyantap makanannya.
Zeline masih menyandarkan kepalanya di pundak Ryan. “Kamu pasti lagi berpikir kalau kamu itu lelaki paling beruntung di dunia karena punya pacar kayak aku, kan? Udah cantik, baik, rajin menabung, romantis juga. Pokoknya, aku ini pacar paket lengkap, iya, kan?” ucapnya dengan suara centil.
Ryan yang mengunyah makanannya terbatuk-batuk karena tersedak setelah mendengar perkataan Zeline.
“Aduh, Sayangku, kamu nggak apa-apa?” tanya Zeline, menyodorkan air botolnya kepada Ryan.
Ryan meminum air itu sambil melirik Zeline yang tampak benar-benar khawatir. Dulu Ryan pernah sebal setiap kali tingkah ajaib Zeline muncul. Namun, sekarang ia sangat menyukainya. Ia menyukai semua yang ada pada Zelin dan ia tidak mau kehilangan perempuan itu. Kalau nanti Zeline tahu kebenaran tentang kematian kakaknya apakah perempuan itu masih bersedia duduk di smapingnya seperti sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...