Berdua Bersamamu

119 24 5
                                    

Empat hari tidak bertemu membuat Zeline tidak bersemangat. Selama ini tidak ada yang bisa merusak semangatnya. Akan tetapi sejak menatap Ryan, mood-nya selalu naik-turun. Senang saat lelaki itu di sekitar. Sedih jika ia menjauh.

Saat itu dosen baru saja keluar. Zeline langsung membuka telepon pintarnya. Ia terbelalak begitu melihat Ryan mengirim gambar padanya satu menit yang lalu. Ia tahu taman itu, Taman Tabebuya yang terletak tidak jauh dari perumahan huniannya.

"Zeline!" panggil Tika yang tidak dipedulikan oleh yang dipanggil. Zeline ingin menemui Ryan saat itu juga.

Pak Kus sudah pulang dari tadi, Zeline berpesan untuk dijemput agak sore karena ia berniat nongkrong di cafe dekat kampus bersama Tika dan Karina. Ia pun memesan taksi online untuk mengantarnya ke tempat itu.

***

Zeline masih menyentuh pipi Ryan, membiarkan mata mereka beradu cukup lama. Ia melirik sekilas pada tangan gemetaran yang kini menempel di pipinya.

"I-ini nyata?" Wajah Ryan tanpa ekspresi. Ia berkedip-kedip.

Zeline mengangguk membenarkan. Ia tersenyum, menarik tangannya begitu  tangan Ryan meninggalkan pipinya. Ia menggulir layar ponselnya. Getaran yang bersumber dari saku Ryan terdengar.

Ponsel yang dipegang Ryan sontak terjatuh saat lelaki itu melemparnya. 'Gadis Aneh' yang merupakan nama kontak Zeline tertera di layar, membuatnya kaget. Ia mengerjap masih ragu. Zeline masih di sana, begitupun dengan layar berkedip-kedip yang ia lempar tadi.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Zeline khawatir melihat bahu Ryan naik-turun dengan cepat.

Ryan menggeleng. Ia tidak baik-baik saja, tidak pernah.

"Lukamu masih sakit?"

Ryan mengangguk kali ini. Tatapannya tertuju pada rerumputan, meski pikirannya mengawan-awan. Sementara, Zeline meletakkan kepala di lututnya yang ditekuk. Matanya melekat pada Ryan dengan kepala dipenuhi tanya. Hening menemani mereka cukup lama, hanya angin yang tertiup menyapa dedaunan di ranting pohon.

"Kenapa kamu di sini?" tanya Ryan setelah pertikaian dalam dirinya usai.

Zeline tidak menjawab. Guratan tercetak di keningnya, berpikir sejenak tentang alasan ia datang ke tempat itu. Mungkin rindu, atau khawatir. Malah bisa jadi karena keduanya.

"Maaf, apa gambar yang aku kirim mengusikmu?"

Kepala Zeline terangkat. Ia langsung menyangkal dan mengatakan bahwa ia khawatir. Bagiamana pun Ryan belum pulih.

"Khawatir pada lukaku atau karena aku ... gila?" Ryan kini berbalik menatap Zeline, mengamati wajah tenang di sana.

"Aku tidak pernah menganggap kamu gila, Iyan."

Seringai kecil muncul di wajah Ryan. "Kamu tidak takut tertular, seperti yang mereka bilang?"

Zeline menggeleng. "Sejak kapan penyakit mental menular?"

Angin kencang mulai berembus, menjatuhkan daun yang sudah tua dari pohon. Daun nyiur melambai saling menyapa. Riak air di danau berteman goyangan teratai. Namun, mata Ryan terkunci pada wajah cantik itu. Wajah yang sedang menatapnya dengan satu alis terangkat. Rambutnya yang panjang terurai, menari terbawa arah angin.

"Kamu tau, bagiku tidak ada orang yang waras sepenuhnya. Otak manusia memiliki sisi buruk masing-masing," jelas Zeline. "Hanya saja, banyak yang pandai menyembunyikannya. Orang dengan penyakit mental itu hanya tidak pandai mengontrol, atau mungkin sudah tidak sanggup untuk mengontrol diri sendiri."

Ryan tidak pernah melihat sisi ini dari seorang Zeline. Gadis yang sudah lebih dari seminggu menggangu hidupnya. Gadis narsis yang tidak tahu malu, bahkan ia sebut murahan.

"Kita semua punya banyak topeng. Kadang, apa yang tampak tidak selalu kebenaran." Zeline menambahkan.

Ryan tertunduk. Ia menelan ludah berat. Ryan pernah mengenakan topeng itu, tersenyum dan berdiri tegar meski segalanya seakan melahap habis bahagia dalam hatinya. Ia pernah berlari mengejar matahari, tetapi tersungkur bahkan sebelum merasakan sedikit hangatnya.

"Bukan hanya kamu, aku juga kadang lelah dan berpikir bahwa mati mungkin lebih baik," jelas Zeline lagi.

Lelaki itu berkedip beberapa kali. Sejenak ia berpikir mengapa Zeline yang selalu menganggap dirinya lebih dari orang lain ingin menyerah pada kehidupan. Hal itu terdengar tidak masuk akal.

"Kita manusia, Iyan. Sedih dan senang itu hal biasa," ucap Zeline berkaca-kaca. Bahkan jika ia sering mengaku sempurna, jauh dalam lubuk hatinya ia juga memiliki banyak ketakutan. Ketakutan yang tidak ingin ia tunjukkan pada orang lain. "We're not perfect, and that's okay."

Terdiam dalam waktu yang cukup lama, Ryan akhirnya mulai berbicara. "Aku ... aku tidak punya alasan untuk bertahan. Tempat yang kuanggap rumah tak pernah bisa menjadi tempat untuk pulang."

Zeline pernah kehilangan separuh hidupnya, tetapi selalu ada cahaya yang menunjukkan arah menuju rumah. Ia memiliki rumah untuk bertahan, tempat hangat yang selalu mendekapnya hingga lelap. Ia akhirnya mengerti arti sikap Ryan dan ibunya tempo hari.

"Dirimu, apa itu tidak bisa jadi alasan?" Zeline berbalik pada Ryan sejenak.

Tidak, Ryan tidak pernah menganggap dirinya berharga. Satu-satunya alasan ia masih berdiri hanya ibunya. Alasan yang sama hingga ia berpikir untuk mati. Ryan terus menggeleng, arah tatapannya tak menentu.

"Kamu tau, aku pernah membenci diri sendiri. Berharap terlahir sebagai orang lain. Aku ... aku ...," ungkap Zeline dengan suara bergetar mengingat semua masa kelam di masa lalu. Ia bahkan tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Ryan bisa merasakan kesedihan itu. Bertahun-tahun ia hidup dalam rasa bersalah, menjadi seorang anak yang tidak dianggap. Menyangka dirinya selalu kurang, meski dengan segala pencapaiannya. Menahan nyeri di sekujur lengan, ia mengelus pundak gadis itu.

Waktu seolah berhenti bergulir kala tangan Zeline melingkar di pinggang Ryan. Mengabaikan nyeri di beberapa bagian tubuh akibat kecelakaan, Ryan membalas pelukan itu. Ia membiarkan gadis itu sesegukan dalam dekapannya.

Tanya terus berdatangan menyapa Ryan. Ia tidak mengerti pada perasaannya kini. Jantungnya sudah biasa berdetak lebih kencang saat rasa takut atau ilusi menghampirinya. Namun, kali ini berbeda. Jantungnya berdetak tak karuan dengan rasa dada yang seakan mengembang. Perasaan itu tak wajar menurutnya.

Zeline mendongak menatap Ryan yang sedang menunduk padanya. Senyum terulas dari bibir lelaki itu membuatnya ikut tersenyum.

"Senyum kamu indah, Iyan," puji Zeline yang justru membuat senyum lelaki yang dipeluknya menghilang.

Ryan mendorong pelan tubuh Zeline. Hal itu salah. Tidak seharusnya ia membiarkan hubungan mereka lebih jauh. Ia tidak pantas untuk seorang Zeline, bahkan untuk perempuan mana pun. Sendiri, itu yang Ryan perlukan.

"Iyan!" panggil Zeline saat melihat bahu Ryan naik-turun. Mata lelaki itu bergerak tak menentu. Ia meraih tangan Ryan, tetapi dihempas.

"Aku mau sendiri, Zeline," ucap Ryan memasang topi yang tadi tergeletak di rerumputan.

Zeline yang bebal tidak akan menuruti Ryan yang secara tidak langsung mengusirnya pergi. Ia meraih tangan Ryan lagi, tidak peduli jika akan dihempas lagi.

"Aku tau itu sulit, Iyan. Perasaan yang membuat kamu merasa tidak berguna dan ingin mati, aku tau," ujar Zeline lirih. "Tapi, kapan pun kamu berpikir untuk menyerah. Kamu harus ingat kalau ada aku yang bisa menjadi alasan untuk kamu bertahan."

Pikiran Ryan memintanya untuk menjauh dari Zeline. Namun, bagaimana bisa ia menjauh, jika raganya nyaman dengan rasa yang ditimbulkan tatapan dan setiap kata yang diucapkan oleh Zeline.

"Saat kamu merasa tidak memiliki siapa pun, ada aku. Ada aku yang selalu membutuhkan kamu."

Darah Ryan berdesir, seakan menggulung-gulung di nadinya. Peduli apa pada yang benar dan salah, jiwanya tenang karena Zeline. Ia tidak akan menjauh, bahkan jika pikirannya menjerit meminta ia untuk berlari.

***

When I See You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang