Rey membuka pintu begitu mendengar deru motor Ryan, juga cahaya lampu yang menyusup di sela-sela gorden. Ia bangkit dari sofa untuk menyambut adiknya yang dari tadi dikhawatirkan oleh semua orang rumah. Dari tadi ibunya terus menelepon, tetapi nomor Ryan tidak aktif.
"Itu Ryan?" Anita muncul dengan langkah buru-buru.
"Suaranya jangan keras, Ma!" Rey mengingatkan karena kadang Anita lepas kendali. Sementara, ia tahu bahwa Ryan butuh kelembutan.
Pintu terbuka, Ryan dengan kepala menunduk masuk. Ia acuh pada pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan oleh ibunya. Langkahnya cepat untuk menaiki tangga.
"Ryan!" pekik Anita yang lelah dari tadi tidak ditanggapi. Ia sudah berusaha untuk memelankan suara. Namun, Ryan seperti orang tuli.
Teriakan pun tidak diindahkan oleh Ryan. Ia membutakan mata dan menulikan telinga, melangkah seakan tidak ada apa-apa.
"Ryan! Mama lagi bicara!" teriak Anita maju. Ia menarik lengan Ryan, hingga anaknya itu berbalik.
"Kamu udah merasa gede sekarang! Berani melawan, iya?" bentak Anita, tidak memedulikan Rey yang meminta agar memelankan suara. Namun, Anita lelah menghadapi sikap Ryan. Anaknya itu seperti patung saat diajak bicara.
"Kamu pikir rumah ini hotel. Pulang, pergi, seenaknya!"
Teriakan Anita membuat Raya keluar dari kamar. Begitupun Narendra yang berada di ruang kerjanya.
"Kamu pikir kamu siapa, huh! Dari kecil Mama besarin, cuma jadi pembangkang!" Anita meluapkan semua emosinya.
Narendra mendekat pada Anita. Menarik pundak istrinya agar menjauh dari Ryan. Ia tahu Anita mungkin sudah hilang kesabaran, tetapi ia harap istrinya itu mengerti bahwa Ryan belum pulih sepenuhnya. Ia tidak mau kondisi anak mereka justru semakin memburuk.
"Sudah," ucap Narendra pada Anita, lalu berbalik pada Ryan dan menyuruh, "Naik, Ryan!"
Ryan menyeringai, mengangkat kepala untuk menatap mata ibunya. "Kenapa Mama marah? Bukannya, Mama justru senang kalo aku tidak pulang?"
Anita terdiam, teringat semua kata kasar yang pernah ia ucapkan pada Ryan.
"Ryan, naik ke kamar!" suruh Narendra.
Tatapan Ryan berpaling pada lelaki yang ia panggil Papa itu. Lelaki yang irit bicara, hanya sesekali memanggil atau menanyakan kabar, sekadar basa-basi. Setidaknya, lelaki itu satu-satunya anggota keluarga yang tidak pernah berkata buruk padanya. Ryan beralih lagi pada Anita yang wajahnya memerah.
"Tidak usah sok peduli, Ma!" tekan Ryan sebelum menaiki tangga tanpa berbalik pada empat orang yang berdiri dalam diam, terkurung dalam pikiran sendiri.
"Rey, ajak Ryan bicara!" pinta Narendra yang langsung dituruti oleh Rey. Sementara, ia menuntun Anita yang terisak ke kamar.
Raya yang berdiri di depan pintu kamar memilih masuk. Bersandar di balik pintu sesegukan. Sudah dua tahun, dan Ryan belum bisa kembali seperti dulu. Raya rindu senyum dan elusan Ryan di rambutnya.
Ryan ada di kamarnya, berpegang erat pada seprai. Ia memejamkan mata, mengatur napas agar tidak termakan emosinya sendiri. Derit pintu tidak ia hiraukan. Pertikaian dalam dirinya lebih sulit ditenangkan.
"Ryan!" Panggilan itu diabaikan oleh Ryan. Ia bahkan ragu akan pendengarannya kini, nyata atau buatan alam bawah sadarnya.
Bisa Ryan rasakan beban berat menekan sisi ranjang di sampingnya. Sentuhan hinggap di bahunya. Suara Rey terdengar lagi.
"Mama dari tadi khawatir karena kamu tidak bisa dihubungi," cerita Rey.
Mata Ryan terpejam erat, menimbulkan kerutan di sisi ekor matanya. Ia tidak mau mendengar suara siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Ficção AdolescenteRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...