Filosofi Layang-layang

127 21 4
                                    

Awalnya, Zeline sudah bahagia karena mendapat seringai kecil yang ia anggap senyum. Namun, setelah mata kuliah berakhir, Ryan kembali seperti biasa. Dingin dan tidak tersentuh. Lelaki itu bahkan langsung melangkah dan menabrak bahunya begitu saja saat ia menahan langkahnya menuju parkiran.

Zeline kembali uring-uringan seperti kemarin. Otaknya jungkir balik memikirkan cara untuk menaklukkan Ryan. Sekuat apa lun ia berpikir, tidak satu pun cara yang bisa diluncurkan oleh kepalanya. Tadi, Karina menelepon mengajaknya untuk ke bioskop. Namun, ia sangat galau hingga bergerak pun susah.

"Anak mama kenapa?" tanya ibunya yang sudah duduk di single sofa yang ada di samping tempat Zeline berbaring.

"Gimana sih caranya biar cowok yang Zeline suka bisa suka juga," keluh Zeline. "Aku tuh sudah mengubah tampilan demi dia, masih saja diacuhkan."

Riani tersenyum kecil sebelum berkata, "Lelaki yang baik itu bisa menerima kamu apa adanya. Tidak melihat bagaimana pun penampilan kamu."

Zeline mencebik. Ia membalik badan, menyembunyikan wajahnya di pantat lengkungan sofa. Kakinya menendang-nendang sembari memekik bahwa ia hanya ingin Ryan seorang.

Riani tersenyum, menggeleng-geleng kecil melihat tingkah anaknya yang kekanakan. Namun, setidaknya Zeline-nya telah kembali. Anaknya yang periang.

"Kamu mau tau cara mudah menaklukkan hati cowok itu?" Perkataan Riani membuat Zeline langsung bangun. Ia meraih bantalan sofa, memeluknya erat dan segera mendesak ibunya untuk bercerita.

"Ah, filosofi layang-layang?" Zeline melongo, tak mengerti dengan ucapan ibunya.

"Hati orang itu seperti layang-layang. Harus tau seni menarik dan mengulur," jelas ibunya.

Zeline mendengkus kesal, "Ih, Mama, mana aku tau cara main layang-layang!"

Riani terus menjelaskan dan Zeline hanya menyimak. Keningnya mengerut, berpikir sejenak mengenai saran ibunya.

"Kalau terlalu agresif, bukannya suka, justru incaranmu itu akan lari karena takut. Makanya, harus tahu mengambil langkah untuk mundur sejenak," ungkap Riani.

***

Ryan terlambat bangun, hingga datang ke kampus pun terlambat. Ia yang biasanya singgah membeli roti dan susu kotakan, melewatkan sarapan. Untunglah ia tidak lupa membawa strip obat yang wajib ia minum dua kali sehari.

Sejak tiga hari ini, Ryan sudah sedikit leluasa bergerak selama di kampus karena tidak lagi ditempeli oleh Zeline. Gadis itu hanya sesekali menyapanya, itu pun sekadar sapaan normal layaknya teman sekelas. Mungkin gadis itu sudah bosan dan tersadar bahwa Ryan tidak pantas untuknya.

Ryan melangkah cepat, menghindari tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Ia sudah terbiasa dengan rasa itu, perasaan seakan semua orang di sekitarnya menjadikannya bahan gunjingan. Hal biasa yang selalu membuat kepalanya pusing.

Hari-hari ia berteman dengan rasa itu. Tidak apa, ia hanya harus menusuk dan menjauh. Pura-pura tak mendengar.

"Iya, katanya dia gila." Begitu yang didengar oleh Ryan.

Ada juga yang berkata, "Pasien rumah sakit jiwa."

Ryan berdiri di depan pintu, membuka sedikit saat ia mendengar pembicaraan dari dalam sana.

"Wah, pantas saja dia aneh. Orang gila!" pekik salah satu lelaki dari dalam sana.

"Si Zeline aja jadi ketularan gila. Baru tau kalo gila itu nular," timpal yang lain.

Ryan menggeleng, berusaha menghilangkan suara-suara itu. Ini hanya pikirannya. Mungkin dosis obatnya harus ditambah. Ia menarik napas panjang sambil memejamkan mata, berusaha untuk menguasai dirinya sendiri.

When I See You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang