Saat pulang dari Puncak, Ryan sengaja tidak langsung kembali ke rumah. Ia baru tiba di rumah saat tengah malam. Tadi pagi pun, ia meninggalkan rumah itu pagi-pagi sekali. Ia menghindari ibunya karena ia yakin hanya akan mendengar omelan panjang dari ibunya itu. Hari ini pun, ia tidak ingin segera pulang.
Mata kuliah terakhir hari itu sudah selesai. Ryan telah membereskan bukunya dan memasukkannya kembali ke ranselnya. Ia menoleh kepada Zeline yang sedang mengobrol dengan Karina dan Tika.
“Beneran, kemarin aku pergi bareng Tika, rasanya enak banget,” ungkap Karina.
TIka mengangkat kedua jempolnya. “Kalau masalah rasa aku beri nilai sebelas dari sepuluh.”
Zeline bertopang dagu dengan siku yang menempel di meja. “Oh ya? Emang seenak itu?”
“Iya, beneran. Kamu harus coba aglio e olio-nya. Mantap bangt, deh, pokoknya,” puji Tika.
“Kamu mau coba makan di sana?” tawar Ryan kepada Zeline.
Ryan tidak ingin cepat pulang. Ia berencana untuk menghabiskan harinya dengan Zeline lagi hari ini. Dengan begitu ia tidak perlu bertemu dengan keluarganya.
“Aku mau,” seru Zeline.
“Ikut, dong,” rengek Karina.
“Iya, udah lama nggak ditraktir,” tambah Tika.
Zeline menaikkan satu sudut bibir atasnya. “Aku mau nge-date di restoran mahal. Ngapai juga bawa dua obat nyamuk kayak kalian.”
“Dih, sekali-kali doang, Zel. Lagian kita nggak bakal ganggu. iya, kan, Tik?” lontar Karina.
Tika mengangguk mantap. “Iya, kalau perlu aku sama Karina duduk di meja yang lain biar kalian bisa berduaan sepuasnya. Yang paling penting cuma satu, ditraktir Ryan.”
“Nggak, nggak, enak aja kamu mau porotin pacarku,” tolak Zeline. “Kalau kaiian mau pergi juga, bayar sendiri.”
“Ih, si Zeline mah mulai pelit,” keluh Tika.
“Punya pacar bukannya makin ryal, malah jadi pelit,” tambah Karina. Ia menuduh Ryan, “Kamu, nih, pasti yang ajarin Zeline pelit.”
Ryan angkat bahu sambil menggeleng-geleng. “Aku nggak ikut-ikutan dalam masaah kalian.”
“Jangan bawa-bawa pacarku yang tampan. Dia itu lelaki yang baik, tapi aku hanya sedang tercerahan kalau aku nggak boleh buang-buang uang. Aku harus menabung demi masa depan yang cerah bersama Ayang Iya. Jadi nanti kalau kami mneikah dna punya anak, kami nggak akan kekurangan,” ucap Zeline mengawang-awang, tampak sangat serius.
Tika menoleh kepada Karina yang juga sedang menatapnya. Tika memiringkan telunjuknya di depan dahi. Bukannya ditanggapi denagn candaan serupa, Karina justru melotot kepada Tika dan ekor matanya melirik ke arah Ryan. Barulah Tika sadar bahw aperbuatannya yang mengejek otak Zeline miring atau secara kasar gila, kemungkinan menyinggung Ryan.
“Sorry, aku nggak bermaksud,” ucap Tika kikuk.
“Nggak masalah,” jawab Ryan santai, lalu tersenyum.
“Beneran, aku nggak bermaksud, swear.” Tika membentuk huruf V dengan jari tekunjuk dan jari tengahnya.
Zeline yang tidak melihat tanda miring di depan dahi Tika kebingungan. “Kalian bahas apa, sih?”
“Bukan apa-apa,” jawab Ryan. “Ayo berangkat sekarang!” ajaknya.
Ryan berdiri dan diikuti oleh Zeline. Tika masih menatap Ryan dan minta maaf lagi dengan mulut bergerak, meskipun tanpa suara.
“Kalian boleh ikut, nanti aku yang traktir,” ucap Ryan.
Tika dan Karina saling bertatapan dan memekik kegirangan. Mereka pun langsung berdiri dan menyampirkan tas masing-masing ke pundak. Mereka tidak peduli dengan Zeline yang mengomel dan melarang Ryan untuk membawa kedua temannya itu. Ryan hanya tersenyum karena tahu Zeline hanya bercanda saat mengatakan tidak ingin mengajak Tika dan Karina.
Sementara Ryan dan Zeline berboncengan dengan motor Ryan, Tika ikut Karina yang hari itu meminjam mobil kakaknya. Restoran yang merka datangi hanya sekitar satu kilometer dari kampus, sehingga tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk sampai. Meskipun, Zeline awalnya bersikeras agar kedua temannya duduk di meja yang berbeda. Namun di sanalah mereka, duduk di meja yang sama di outdoor restoran tersebut.
Suasana restoran itu cukup ramai, terlebih karena letaknya yang berada di pusat gedung perkantoran. Ada juga anak sekolah yang masih mengenakan seragam datang ramai-ramai. Sajian pasta dengan berbagai saus adalah yang paling laris di sana, sehingga keempat orang itu memesan spageti dengan saos yang berbeda-beda.
“Kamu mau coba?” Zeline menawarkan makanannya kepada Ryan.
Ryan menggeleng. “Aku nggak terlalu suka udang.”
Mata Zeline membesar. “Oh ya? Alergi, ya? Tapi kamu bilang nggak ada alergi.”
“Bukan alergi, tapi emang nggak suka,” jelas Ryan.
“Si Zeline emang agak budeg dan telmi, jadi gitu, deh,” ejek Tika.
“See, ini tandanya kalau Tuhan itu adil, Bayangain aja kalau cewek cantik kayak Zeline diberkati dengan kepintaran, nggak bakal dilirik aku ama cowok-cowok,” timpal Karina.
“Terserah,” sungut Zeline, kemudian mulai menyantap makanannya.
Ryan tersenyum melihat ketiga sahabat itu. Ia tidak tahu kapan terkahir kali ia memiliki orang yang bisa bercanda seperti itu. Saling mengejek dan tidak perlu takut untuk mengatakan apa pun. Sejak kecil, ia selalu ingin terlihat baik di depan orang lain. Ia kerap kali menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Meskipun tidka ingin, tapi ia tidak bisa menolak. Meskipun berat, ia mencoba untuk bertahan.
Sedih, marah, gelisah, terluka, semua Ryan sembunyikan di balik senyumnya. Ia tidak mau dibenci kalau sampai ia slaah bicara. Ia tidak mau orang-orang memperlakukannya sama seperti ibunya memperlakukannya. Dan semua itulah yang menyumbang tekanan batin besar dalam hidup Ryan.
*.*.*.
Saat Ryan tiba di rumah, lampu sudah dimatikan. Ia membuka pintu dengan kunci yang memang ia pegang. Ia bernapas lega karena tidak bertemu dengan siapa-siapa lagi di sana. Namun, begitu ia menutup pintu dan menguncinya, lampu di ruang tamu langsung menyala. Saat ia menoleh, ia melihat Anita yang telah berdiri sambil bertepuk tanga pelan.
“Hebat sekali, jam segini kamu baru pulang,” ucap Anita, berlipat tangan di depan dada dan tampak amat kesal.
Ryan hanya menatap ibunya sekilas, kemudian ia berjalan menuju tangga. Ia tidak akan menanggapi apa pun. Pertengakarn tidka penting seperti itu hanya akan membuat kepalanya sakit.
“Ryanda!” teriak Anita. “Mama belum selesai bicara.”
Ryan yang sudah berada di tangga mempercepat langkahnya. Namun, Anita yang sudah menunggu sejak tadi tidak ingin melepaskan Ryan begitu saja. Perempuan itu mengikuti langkah Ryan.
“Berhenti, Ryan!” panggil Anita. “Makin besar, kamu makin kurang ajar.”
Ryan menegaskan rahangnya dan terus membisikkan dirinya dalam hati bahwa semua akan baik-baik saja.
“Bisa nggak, sih, sebentar aja kamu nggak bikin Mama pusing,” keluh Anita.
Ryan yang sudah ada di anak tangga teratas berbalik kepada Anita. Ia menatap ibunya tajam. “Kenapa Mama harus pusing?” tanyanya dengan suara rendah dan wajah dingin.
“Apa kamu harus bertanya? Ibu mana yang nggak pusing denagn kelakukan kamu yang kayak gini. Kamu itu sakit, Ryan! Kamu terus-terusan keluyuran nggak jelas dan nggak ada kabar, bagaimana kalau skaitmu kambuh di tengah jalan?”
Ryan tersenyum miris. “Nggak usah mikirin aku, Ma. Bukannya kalau aku mati, Mama akan jauh lebih senang?”
KAMU SEDANG MEMBACA
When I See You Again
Teen FictionRyan adalah lelaki dengan gangguan skizofrenia. Dia melanjutkan studinya di kampus setelah cuti selama empat semester. Di sana, dia dipertemukan dengan Zeline, perempuan centil yang terus mengejar-ngejarnya. Setiap orang memiliki masa lalu, begitupu...